Pages

Wednesday, May 27, 2015

CIRI PROSODI





 Ciri prosodi adalah jenis kelas pembeda (kelas yang membedakan satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya) yang meliputi titi nada, tekanan, dan aksen.
a. Titinada
Dari sudut fonetik akustis semua bunyi adalah getaran udara, dan makin tinggi frekuwensi getaran itu (lazimnya dihitung perderik), makin tinggi nada bunyi. Nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat pendengaran adalah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit antara pita-pita suara, dan frekuwensi getaran udara yang ditimbulkannya ditentukan oleh frekwensi getaran pita-pita suara.—istilah Inggris untuk titi nada adalah pitch.
Salah satu fariasi titinada yang menyertai seluruh kalimat, atau bagian kalimat , adalah intonasi (intonation) atau lagu melody. Anda dapat mendengar dengan mudah bahwa kita tidak memakai nada yang sama bila kita berbicara; coba saja ucapkan beberapa kalimat pada nada satu dari gitar, atau piano, dan segera anda mendengar betapa aneh pengucapan semacam itu. Jadi hampir setiap kata ( dan tidak jarang selam mengucapkan satu kata saja) dalam kalimat diucapkan dengan nada yang lain lagi. Dari itu dalam kalimat dihasilkan sesuatu lagu: intonasi.
Demi gampangnya analisa intonasi, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (raid); atau tinggi rendahnya dibedakan menurut angka saja, mis. angka 1 sampai dengan angka 4, seperti pada musik (tetapi tidak sama dengan jarak di antara nada dalam musik). Misalnya kalimat Apakah Saudara sudah makan? Dapat dianalisa intonasinya sebagai berikut:
Yaitu intonasi mulai pada 4, menurun sampai pada 1 pada saat mulai diucapkan kata makan, dan menaik sampai pada 3 pada akhir kalimat itu. Tingginya yang tepat hanya dapat ditentukan dalam laboratorium fonetik saja. Walaupun demikian tanpa peralatan laboratorium pun kita dapat mencapai sesuatu analisa yang cukup memuaskan juga, khususnya bila kita mempunyai bakat musik, dan telinga kita “peka” akan tinggi rendahnya nada.
            Perbedaan nada tidak absolut, artinya tidak mutlak perlu setiap penutur Indonesia memulai kalimat tanya tadi pada (mis.) frekwensi 800 getaran per detik. Yang penting adalah perbedaan relatif kita bisa mulai memainkan suatu lagu di piano pada kunci nada yang mana saja kita sukai, dan demikian pula dengan nada suara. Suara wanita dan pria dewasa biasanya berbeda satu oktaf tingginya, tetapi perbedaan relatif tinggi rendahnya kalimat tertentu yang dituturkannya agaknya tidak terlalu banyak. Malahan orang yang sama dapat berintonasi lebih rendah frekwensinya pada satu saat, dapat lebih tinggi pada saat lain dalam kedua hal itu perbedaan relatif nada-nada intonasi tertentu agaknya tidak teralu jauh.
            Perbedaan relatif di antara nada-nada yang dipakai dalam intonasi dapat berbeda di antara bahasa-bahasa (mis. dalam bahasa Prancis pada yang tertinggi dan yang terendah tidak terlalu berjauhan, dibandingkan dengan bahasa Inggris), demikian pula di antara dialek-dialek, dan di antara penutur bahasa individuil.

b.Tekanan dan Aksen

Tekanan (Inggr. stress) dan aksen (accent) sulit sekali dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari sudut istilah-istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh istilah-istilah tersebut. Atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk sebagian adalah terminologis saja (“terminologi” = peristilahan) dan untuk sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta.
            Kesulitan terminologis belum dipecahkan oleh para ahli fonetik dan fonologi. Istilah Inggris stress sering dipakai sebagai nama dari accent, jadi stress dan accent sama. Misalnya kaidah Prancis bahwa dalam setiap kata silabe terakhirnya diberi stress dapat dirumuskan pula dengan memakai istilah accent. Atau mis. dalam bahasa Inggris ada kaidah bahwa silabe terakhirnya di depan akhiran –ic atau –ical harus diberi stress atau dirumuskan juga dengan menyatakan bahwa silabe tersebut harus diberi accent. Mari kita putuskan sekarang untuk gejala semacam itu kita pakai istilah accent, bukannya istilah stress, Indonesianya: istilah “aksen”, bukannya istilah “tekanan”. Jangan kacaukan arti istilah ilmiah “aksen” dengan arti “aksen” dalam bahasa sehari-hari, dimana “aksen” sering berarti “logat” atau pelafalan menurut bahasa atau dialek tertentu.
            Istilah “tekanan” kita pakai untuk apa yang dinamai sebagai “amplitudo” dalam ilmu alam (dari kata Latin amplitudo ‘lebarnya’). Amplitudo adalah “lebarnya” getaran udara. Itu jelas berbeda dari frekwensi yang diuraikan dalam pas. (14) di atas. Tingginya frekwensi netral terhadap amplitudo masing-masing getaran. Mis. bila anda menggerakkan tangan di depan dada dari kanan di kiri dan kembali dua kali sesekon, maka “frekwensi” setinggi “2” itu dapat anda laksanakan dengan “amplitudo” sepuluh sentimeter atau dengan amplitudo tigapuluh sentimeter. Memang suatu frekwensi yang tingginya 2 sedetik tidak dapat anda dengar. Tetapi dapat anda dengar bunyi yang nadanya sesuai dengan frekwensi yang anda hasilkan. Bila demikian, apa akibat dari amplitudo gerakan tersebut? Bunyinya akan lebih keras jika amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudolah yang menentukan kerasnya atau kuatnya bunyi yang dihasilkan itu. Hal itu lepas dari frekwensi.
            Di sini ada kesulitan terminologis lagi. Karena buku-buku fonetik sering membedakan tekanan (stress, dan memang diandalkan di sini stress itu menyangkut besarnya amplitudo) atas “tekanan tinggi” dan “tekanan rendah” (high stress dan low stress). Bila istilah “tinggi” dan “rendah” tidak disalahtafsirkan, kita tidak keberatan. Padahal, bahaya salah tafsir ada: istilah “tinggi” dan “rendah” dapat dianggap menyangkut frekwensi dan frekwensi lain dari amplitudo. Maka dari itu mari kita bedakan, bila perlu, tekanan (stress) itu sebagai “tekanan kuat” dan “tekanan lemah” (strong stress dan weak stress) istilah “kuat” dan “lemah” tidak begitu menyesatkan, karena besarnya amplitudo getaran memang menentukan kuatnya bunyi yang dihasilkan.
            Tekanan, seperti halnya dengan nada, adalah relatif, tidak absolut. Bila sebagian dari suatu tuturan diucapkan dengan suara yang lebih kuat daripada kuatnya suara dalam bagian lain-lainnya dalam tuturan tersebut, perbedaan relatif tersebut memadai. Ukuran absolut kuatnya bunyi (yaitu dengan bilangan jumlah “desibel”) tidak penting bagi fonetik.
            Sekarang mari kita ambil suatu contoh kongkrit dari tekanan. Mis. Bila saya ucapkan kalimat Saya mau pergi ke Buru (maksudnya pulau Buru), tetapi entah karena apa anda mendengar “ke Boro”, dan heran mengapa saya mau ke Boro, maka saya dapat mengulangi kalimat tadi dengan menekankan keras “ke Buru”. Tekanan disini, yaitu pengucapan kata-kata tersebut, adalah ucapan dengan amplitudo yang lebih besar; tekanan disini disebut “tekanan kontras”: [.....] ke Buru, bukan ke Boro.
            Sekarang mari kita pindah ke masalah aksen, mis. dengan contoh tadi mengenai aksen pada akhir dalam bahasa Prancis, atau aksen pada silabe yang di depan akhiran –ic atau –ical dalam bahasa Inggris. Di sini jelas aksen tidak dipakai untuk membedakan secara kontrastif silabe yang diaksenkan dari silabe lain-lainnya dalam kata yang bersangkutan. Jadi aksen “leksikal” hanya merupakan ciri khas terstruktur bunyi kata yang bersangkutan. Tetapi rupa-rupanya disini anda menanyakan apakah aksen itu secara kongkrit berbeda dari tekanan, artinya apakah aksen itu mungkin tanpa amplitudo yang lebih besar. Jawabannya adalah bahwa memang ada dua jenis aksen: aksen yang terlaksana dengan tekanan (disebut “aksen tekan”, Inggr. stress accent, sering juga disebut “aksen dinamis”); dan aksen yang terlaksana dengan nada (disebut “aksen nada”, Inggr. pitch accent, sering juga disebut “aksen musikal”). Aksen itu baik tanpa tekanan maupun tanpa nada memang tidak pernah ada. Tetapi karena aksen dapat dengan tekanan, dapat juga dengan nada, maka aksen tidak sama dengan tekanan, tidak sama juga dengan nada. Lebih sulit lagi, tekanan dapat terdiri dari amplitudo yang lebih besar saja, tetapi sering disertai oleh nada yang lebih tinggi juga. Mis. tuturan tadi [.....] ke Buru, bukan ke Boro agaknya akan diucapkan dengan nada lebih tinggi pada kata-kata Buru dan Boro, tetapi peninggian nada itu tidak masuk hakekat tekanan.
            Ilmu linguistik belum begitu maju dalam usaha memecahkan masalah kebersamaan nada, tekanan, dan aksen. Yang penting ialah kita bedakan antara aksen tekan dan aksen nada. Pembedaan tersebut menyangkut fakta-fakta linguistis. Mis. aksen dalam bahasa Jepang adalah aksen nada, tetapi aksen dalam bahasa Indonesia adalah aksen tekan. Itu tidak berarti bahwa aksen dalam bahasa Jepang tidak dapat disertai tekanan lebih kuat, atau bahwa aksen dalam bahasa Indonesia tidak dapat disertai nada yang lebih tinggi, tetapi hal itu tidak mutlak perlu.
            Akhirnya masih dapat ditanyakan apa hubungan antara aksen tekan dan struktur silabe, dan hubungan antara aksen nada dan struktur silabe. Masalah ini belum dibahas dengan mendalam oleh para ahli linguistik. Puncak silabe, anda ingat dari pas. (13) di atas, ditentukan oleh sonoritas. Sonoritas boleh disebut perbanyakan sumber bunyi oleh adanya pemantulan kembali bunyi yang dihasilkan oleh pita-pita suara. Sebetulnya bertambahnya sonoritas tidak berarti bertambahnya amplitudo (sonoritas itu lain dari tekanan), tetapi dapat berarti gelombang udara dari sumber-sumber banyaknya itu tidak sama sekali serentak lagi; hal itu interesan dari sudut ilmu bunyi sebagai cabang ilmu alam, tetapi untuk fonetik tidak penting. Dewasa ini para ahli menduga bahwa aksen nada lebih berhubungan dengan panjangnya bunyi silabus.

No comments:

Post a Comment