Ciri prosodi adalah jenis kelas pembeda (kelas yang
membedakan satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya) yang meliputi titi nada,
tekanan, dan aksen.
a. Titinada
Dari sudut fonetik akustis semua bunyi adalah getaran udara,
dan makin tinggi frekuwensi getaran itu (lazimnya dihitung perderik), makin
tinggi nada bunyi. Nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat
pendengaran adalah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit
antara pita-pita suara, dan frekuwensi getaran udara yang ditimbulkannya
ditentukan oleh frekwensi getaran pita-pita suara.—istilah Inggris untuk titi
nada adalah pitch.
Salah satu fariasi titinada yang menyertai seluruh kalimat,
atau bagian kalimat , adalah intonasi (intonation) atau lagu melody. Anda dapat
mendengar dengan mudah bahwa kita tidak memakai nada yang sama bila kita
berbicara; coba saja ucapkan beberapa kalimat pada nada satu dari gitar, atau
piano, dan segera anda mendengar betapa aneh pengucapan semacam itu. Jadi
hampir setiap kata ( dan tidak jarang selam mengucapkan satu kata saja) dalam
kalimat diucapkan dengan nada yang lain lagi. Dari itu dalam kalimat dihasilkan
sesuatu lagu: intonasi.
Demi
gampangnya analisa intonasi, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai
istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (raid); atau
tinggi rendahnya dibedakan menurut angka saja, mis. angka 1 sampai dengan angka
4, seperti pada musik (tetapi tidak sama dengan jarak di antara nada dalam
musik). Misalnya kalimat Apakah Saudara sudah makan? Dapat dianalisa
intonasinya sebagai berikut:
Yaitu intonasi mulai pada
4, menurun sampai pada 1 pada saat mulai diucapkan kata makan, dan menaik
sampai pada 3 pada akhir kalimat itu. Tingginya yang tepat hanya dapat
ditentukan dalam laboratorium fonetik saja. Walaupun demikian tanpa peralatan
laboratorium pun kita dapat mencapai sesuatu analisa yang cukup memuaskan juga,
khususnya bila kita mempunyai bakat musik, dan telinga kita “peka” akan tinggi
rendahnya nada.
Perbedaan nada tidak absolut, artinya tidak mutlak perlu
setiap penutur Indonesia memulai kalimat tanya tadi pada (mis.) frekwensi 800
getaran per detik. Yang penting adalah perbedaan relatif kita bisa mulai
memainkan suatu lagu di piano pada kunci nada yang mana saja kita sukai, dan
demikian pula dengan nada suara. Suara wanita dan pria dewasa biasanya berbeda
satu oktaf tingginya, tetapi perbedaan relatif tinggi rendahnya kalimat
tertentu yang dituturkannya agaknya tidak terlalu banyak. Malahan orang yang
sama dapat berintonasi lebih rendah frekwensinya pada satu saat, dapat lebih
tinggi pada saat lain dalam kedua hal itu perbedaan relatif nada-nada intonasi
tertentu agaknya tidak teralu jauh.
Perbedaan relatif di antara nada-nada yang dipakai dalam
intonasi dapat berbeda di antara bahasa-bahasa (mis. dalam bahasa Prancis pada
yang tertinggi dan yang terendah tidak terlalu berjauhan, dibandingkan dengan
bahasa Inggris), demikian pula di antara dialek-dialek, dan di antara penutur
bahasa individuil.
b.Tekanan dan Aksen
Tekanan (Inggr. stress)
dan aksen (accent) sulit sekali dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari
sudut istilah-istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh
istilah-istilah tersebut. Atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk
sebagian adalah terminologis saja (“terminologi” = peristilahan) dan untuk
sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta.
Kesulitan terminologis belum dipecahkan oleh para ahli
fonetik dan fonologi. Istilah Inggris stress sering dipakai sebagai nama dari
accent, jadi stress dan accent sama. Misalnya kaidah Prancis bahwa dalam setiap
kata silabe terakhirnya diberi stress dapat dirumuskan pula dengan memakai
istilah accent. Atau mis. dalam bahasa Inggris ada kaidah bahwa silabe
terakhirnya di depan akhiran –ic atau –ical harus diberi stress atau dirumuskan
juga dengan menyatakan bahwa silabe tersebut harus diberi accent. Mari kita
putuskan sekarang untuk gejala semacam itu kita pakai istilah accent, bukannya
istilah stress, Indonesianya: istilah “aksen”, bukannya istilah “tekanan”.
Jangan kacaukan arti istilah ilmiah “aksen” dengan arti “aksen” dalam bahasa
sehari-hari, dimana “aksen” sering berarti “logat” atau pelafalan menurut
bahasa atau dialek tertentu.
Istilah “tekanan” kita pakai untuk apa yang dinamai
sebagai “amplitudo” dalam ilmu alam (dari kata Latin amplitudo ‘lebarnya’). Amplitudo
adalah “lebarnya” getaran udara. Itu jelas berbeda dari frekwensi yang
diuraikan dalam pas. (14) di atas. Tingginya frekwensi netral terhadap
amplitudo masing-masing getaran. Mis. bila anda menggerakkan tangan di depan
dada dari kanan di kiri dan kembali dua kali sesekon, maka “frekwensi” setinggi
“2” itu dapat anda laksanakan dengan “amplitudo” sepuluh sentimeter atau dengan
amplitudo tigapuluh sentimeter. Memang suatu frekwensi yang tingginya 2 sedetik
tidak dapat anda dengar. Tetapi dapat anda dengar bunyi yang nadanya sesuai
dengan frekwensi yang anda hasilkan. Bila demikian, apa akibat dari amplitudo
gerakan tersebut? Bunyinya akan lebih keras jika amplitudonya tigapuluh senti,
lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudonya tigapuluh senti, lebih
halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudolah yang menentukan kerasnya atau
kuatnya bunyi yang dihasilkan itu. Hal itu lepas dari frekwensi.
Di sini ada kesulitan terminologis lagi. Karena buku-buku
fonetik sering membedakan tekanan (stress, dan memang diandalkan di sini stress
itu menyangkut besarnya amplitudo) atas “tekanan tinggi” dan “tekanan rendah”
(high stress dan low stress). Bila istilah “tinggi” dan “rendah” tidak
disalahtafsirkan, kita tidak keberatan. Padahal, bahaya salah tafsir ada:
istilah “tinggi” dan “rendah” dapat dianggap menyangkut frekwensi dan frekwensi
lain dari amplitudo. Maka dari itu mari kita bedakan, bila perlu, tekanan
(stress) itu sebagai “tekanan kuat” dan “tekanan lemah” (strong stress dan weak
stress) istilah “kuat” dan “lemah” tidak begitu menyesatkan, karena besarnya
amplitudo getaran memang menentukan kuatnya bunyi yang dihasilkan.
Tekanan, seperti halnya dengan nada, adalah relatif,
tidak absolut. Bila sebagian dari suatu tuturan diucapkan dengan suara yang
lebih kuat daripada kuatnya suara dalam bagian lain-lainnya dalam tuturan
tersebut, perbedaan relatif tersebut memadai. Ukuran absolut kuatnya bunyi
(yaitu dengan bilangan jumlah “desibel”) tidak penting bagi fonetik.
Sekarang mari kita ambil suatu contoh kongkrit dari
tekanan. Mis. Bila saya ucapkan kalimat Saya mau pergi ke Buru (maksudnya pulau
Buru), tetapi entah karena apa anda mendengar “ke Boro”, dan heran mengapa saya
mau ke Boro, maka saya dapat mengulangi kalimat tadi dengan menekankan keras
“ke Buru”. Tekanan disini, yaitu pengucapan kata-kata tersebut, adalah ucapan
dengan amplitudo yang lebih besar; tekanan disini disebut “tekanan kontras”:
[.....] ke Buru, bukan ke Boro.
Sekarang mari kita pindah ke masalah aksen, mis. dengan
contoh tadi mengenai aksen pada akhir dalam bahasa Prancis, atau aksen pada
silabe yang di depan akhiran –ic atau –ical dalam bahasa Inggris. Di sini jelas
aksen tidak dipakai untuk membedakan secara kontrastif silabe yang diaksenkan dari
silabe lain-lainnya dalam kata yang bersangkutan. Jadi aksen “leksikal” hanya
merupakan ciri khas terstruktur bunyi kata yang bersangkutan. Tetapi
rupa-rupanya disini anda menanyakan apakah aksen itu secara kongkrit berbeda
dari tekanan, artinya apakah aksen itu mungkin tanpa amplitudo yang lebih
besar. Jawabannya adalah bahwa memang ada dua jenis aksen: aksen yang
terlaksana dengan tekanan (disebut “aksen tekan”, Inggr. stress
accent, sering juga disebut “aksen dinamis”); dan aksen yang terlaksana
dengan nada (disebut “aksen nada”, Inggr. pitch accent, sering
juga disebut “aksen musikal”). Aksen itu baik tanpa tekanan maupun tanpa nada
memang tidak pernah ada. Tetapi karena aksen dapat dengan tekanan, dapat juga
dengan nada, maka aksen tidak sama dengan tekanan, tidak sama juga dengan nada.
Lebih sulit lagi, tekanan dapat terdiri dari amplitudo yang lebih besar saja,
tetapi sering disertai oleh nada yang lebih tinggi juga. Mis. tuturan tadi
[.....] ke Buru, bukan ke Boro agaknya akan diucapkan dengan nada lebih
tinggi pada kata-kata Buru dan Boro, tetapi peninggian nada itu
tidak masuk hakekat tekanan.
Ilmu linguistik belum begitu maju dalam usaha memecahkan
masalah kebersamaan nada, tekanan, dan aksen. Yang penting ialah kita bedakan
antara aksen tekan dan aksen nada. Pembedaan tersebut menyangkut fakta-fakta
linguistis. Mis. aksen dalam bahasa Jepang adalah aksen nada, tetapi aksen
dalam bahasa Indonesia adalah aksen tekan. Itu tidak berarti bahwa aksen dalam
bahasa Jepang tidak dapat disertai tekanan lebih kuat, atau bahwa aksen dalam
bahasa Indonesia tidak dapat disertai nada yang lebih tinggi, tetapi hal itu
tidak mutlak perlu.
Akhirnya masih dapat ditanyakan apa hubungan antara aksen
tekan dan struktur silabe, dan hubungan antara aksen nada dan struktur silabe.
Masalah ini belum dibahas dengan mendalam oleh para ahli linguistik. Puncak
silabe, anda ingat dari pas. (13) di atas, ditentukan oleh sonoritas. Sonoritas
boleh disebut perbanyakan sumber bunyi oleh adanya pemantulan kembali bunyi
yang dihasilkan oleh pita-pita suara. Sebetulnya bertambahnya sonoritas tidak
berarti bertambahnya amplitudo (sonoritas itu lain dari tekanan), tetapi dapat
berarti gelombang udara dari sumber-sumber banyaknya itu tidak sama sekali
serentak lagi; hal itu interesan dari sudut ilmu bunyi sebagai cabang ilmu
alam, tetapi untuk fonetik tidak penting. Dewasa ini para ahli menduga bahwa
aksen nada lebih berhubungan dengan panjangnya bunyi silabus.
No comments:
Post a Comment