Pages

Thursday, February 27, 2020

Teori Riffaterre

A.    Semiotika Michael Riffaterre
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).

1.      Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam membawakan maknanya (Faruk, 2012:141). Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan bahasa sehari-hari bersifat mimetik.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya pergeseran makna (displacing), perusakan makna (distorsing), dan penciptaan makna (creating) (Riffaterre dalam Faruk, 2012:141).

a.      Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya pergeseran makna adalah penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.

b.      Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing of Meaning)
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya. Kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4).

c.       Penciptaan Makna (Creating or Meaning)
Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza” (Riffaterre dalam faruk, 2012:141). Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan homolog.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan homolog adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama (Salam, 2009:5).
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan (ungrammaticality).
Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak kronologis.

2.      Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian makna dan arti. Riffaterre dalam Faruk (2012:141) membedakan konsep makna dan arti. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan dengan realitas, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik yang bersifat referensial dari karya disebut meaning, yang dapat diterjemahkan  sebagai “makna”, sedangkan makna yang terbangun atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantik dari puisi, makna yang meliputi segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk, 2012:142).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti” (significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan arti bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks.
Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna” sebuah teks, sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.

3.      Matriks, Model, dan Varian
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (pu­isi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka­limat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.

4.      Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard dalam Salam, 2009:7).
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau  alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).
Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna” kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah makna referensial yang berupa rangkaian ketidakgramatikalan (ungramatically), yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan tanda kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan yang diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, maka ia dapat ditemukan di dalam teks puisi yang diteliti atau dibaca. Hanya saja satuan-satuan makna kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa pembaca pada pengetahuan mengenai “arti” melainkan hanya menjadi “pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan makna kebahasaan itu, yang berupa serangkaian ketidakgramatikalan tersebut, harus dihubungkan satu sama lain secara oposisional sehingga membentuk pasangan-pasangan oposisi yang saling ekuivalen dan bersifat paradigmatik. Untuk membentuknya menjadi pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatik tersebut, pembaca harus melakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan dengan bantuan “konvensi sastra”. Konvensi sastra berfungsi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat mempertemukan satuan-satuan makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk melampaui secara bertahap serangkaian ketidakgramatikalan yang ada (Faruk, 2012:148).

B.     Implementasi Semiotika Michael Riffaterre
Untuk memperjelas pemahaman konsep semiotik Michael Riffaterre, berikut disajikan analisis puisi dengan menggunakan konsep Riffaterre tersebut. Analisis yang disajikan diambil dari buku yang berjudul Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal, karya Prof. Dr. Faruk. Berikut analisisnya.

Manusia Pertama di Angkasa Luar
(Subagyo Sastrowardoyo)

Beritakan kepada dunia (1)
Bahwa aku telah sampai pada tepi (2)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3)
Aku kini melayang di tengah ruang (4)
Di mana tak berpisah malam dengan siang. (5)
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang. (6)
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang. (7)
Jagat begitu tenang. Tidak lapar (8)
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah. (9)
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. (10)
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu (11)
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota (12)
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat (13)
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. (14)
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa (15)
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku (16)
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela (17)
Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta– (18)
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap (19)
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari (20)
Perlawatanku di langit tak terberita. (21)
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu (22)
Kutinggalkan kemarin dulu? (23)
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
Sebab semua telah terbang bersama kereta (25)
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26)
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27)
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28)
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi (29)
Tetapi aku telah sampai pada tepi (30)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31)
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku (32)
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang (33)
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam. (34)
Aku makin jauh, makin jauh (35)
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36)
Makin gemuruh. (37)

Bunda, (38)
Jangan membiarkan aku sendiri. (39)

1.      Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dari judulnya tampak bahwa puisi di atas bercerita tentang kenyataan, peristiwa peluncuran pertama manusia ke angkasa luar dengan menggunakan roket yang pada waktu itu bernama Apollo. Hal ini dipertegas oleh baris pertama pembukanya, “beritakan pada dunia …”. Hampir semua pernyataan di dalam puisi itu menggambarkan kenyataan, yaitu kenyataan pengalaman dan perasaan manusia pertama yang sampai ke luar angkasa itu: ruang angkasa yang sepi, melayang, bumi yang tampak makin jauh, tidak adanya perasaan lapar, kerinduan kepada keluarga, bayangan mengenai anak yang mencoba menangkap bayangan pesawat bapaknya yang ada di langit, dan sebagainya. Namun, terdapat beberapa pernyataan dari baris puisi itu yang membuat gambaran mengenai kenyataan itu menjadi tidak gramatikal atau ungramatikal, tidaj bersesuaian dengan kenyataan, yaitu sebagai berikut.

  1. Bahwa aku telah sampai pada tepi (2)
  1. Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3)
  1. Perlawatanku di langit tak terberita. (21)
  1. Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
  1. Sebab semua telah terbang bersama kereta (25)
  1. ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26)
  1. daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27)
  1. yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28)
  1. Tetapi aku telah sampai pada tepi (30)
  1. Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31)
  1. Aku makin jauh, makin jauh (35)
  1. Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36)
misalnya pada kalimat “undang-undang mulai berpesta” yang diartikan sebagai kritikan kepada atasan tentang aturan-aturan yang tidak dijalankan dengan semestinya.
Baris (2) menimbulkan ungramatikalitas karena ruang angkasa bisa dikatakan tidak bertepi. Yang membuat baris (3) menjadi faktor bagi ungramatikalitas adalah pernyataan bahwa dalam perjalanan ke ruang angkasa “aku tak mungkin kembali”. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Ungramatikalitas dari baris (21) terletak pada pertentangannya dengan pernyataan yang ada di baris (1), juga pada kenyataan bahwa perjalanan ke ruang angkasa itu mendapat banyak pemberitaan. Pernyataan dalam baris (24), (25), dan bagian pertama baris (26) menjadi ungramatikal akibat perbedaannya dari kenyataan bahwa yang dibawa terbang oleh pesawat ruang angkasa itu bukanlah cita-cita, melainkan diri manusia secara fisik. Yang membuat “aku” terlontar jauh dari bumi bukanlah seribu rumus ilmu yang penuh janji, melainkan pesawat ruang angkasa sehingga pernyataan dalam baris (27) dan (28) juga ungramatikal. Ungramatikalitas baris (30) dan (31) sama dengan baris (2) dan (3). Pernyataan baris (35) bertentangan atau kontradiktif dengan pernyataan di baris (2), (3), (30), dan (31) yang menyatakan bahwa “aku” sudah sampai ke tepi. Bagian kedua baris (36) bisa sama dengan baris (35), tetapi bisa juga gramatikal jika dilihat dari segi waktu, bukan ruang. Waktu yang makin lama dapat membuat hati makin sepi.
Semua baris yang ungramatikal mendorong proses pembacaan bergerak meninggalkan cara pembacaan heuristik yang bersifat mimetik dan linguistik, menuju pembacaan tahap berikutnya, yaitu pembacaan hermeneutik yang melingkar dan yang berdasarkan konvensi sastra atau ekstra-linguistik. Semua ungramatikalitas yang ada sebelumnya mulai menemukan jalan keluarnya ketika pembacaan sampai pada baris (27). Tampak di situ bahwa puisi ini menempatkan pesawat ruang angkasa sebagai metonimi dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan bantuan pengetahuan mengenai keterkaitan antara ilmu dengan teknologi, tentu saja perkembangan itu meliputi perkembangan teknologi pula, teknologi yang memungkinkan  dapat dibuatnya pesawat ruang angkasa yang kemudian dapat membuat manusia terbang ke ruang itu. Karena puisi itu juga mempertentangkan rumus ilmu dengan puisi, pembaca dibawa kepada sejarah panjang, yang berlangsung sejak zaman romantik, mengenai pertentangan antara seni dengan teknologi, khususnya industri. Ilmu, teknologi, industri, di dalam sejarah wacana yang panjang itu, dipahami sebagai kekuatan kultural yang materialistik, rasional, impersonal, yang memiskinkan spiritualitas manusia, dimensi perasaan manusia, dan relasi sosial tradisional yang personal, intim, yang oleh Raymond Williams (1973: 96-107) disebut “nilai-nilai organik” yang dianggap sebagai nilai-nilai yang inheren di lingkungan pedesaan dan lingkungan alamiah. Puisi, dalam sejarah wacana itu, dipahami sebagai kekuatan yang mampu menyelamatkan, melestarkan nilai-nilai spiritual, emosional, dan komunal tersebut dari gusuran ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri di atas.
Dengan demikian, perjalanan ke ruang angkasa itu bukanlah perjalanan fisik, melainkan perjalanan kultural atau mental, proses modernisasi dan industrialisasi. Karena di dalam tulisan-tulisan sejarah peradaban waktu itu kebudayaan modern dianggap sebagai puncak dari perkembangan peradaban manusia, tidaklah mengherankan apabila di baris (2) puisi ini menyebut dirinya sebagai sudah sampai ke tepi. Baris (3) juga menjadi masuk akal karena perjalanan mental yang mengimplikasikan perubahan mentalitas dan kebudayaan tidak dapat dihapus kembali, sudah tercetak di dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia, misalnya, sudah sulit untuk hidup dengan cara tradisional, melepaskan kehidupan material, membuang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industri sehingga mereka benar-benar tidak bisa kembali seperti yang dinyatakan di dalam baris (3). Dan, dalam posisi yang sudah di tepi, dalam posisi yang tidak bisa kembali ke nilai-nilai budaya sebelumnya itu, hanya puisi yang bisa menjadi semacam tempat “ziarah” karena hanya puisi yang masih menyimpan nilai-nilai itu sekarang seperti yang dinyatakan di dalam baris (26).

2.      Matriks, Model, dan Varian
Puisi “Manusia Pertama di Luar Angkasa” karya Subayo Sastrowardoyo ini banyak mengemukakan hal secara oposisional, seperti baris (26) dan (27). Selain itu, ada baris-baris lain yang merepresentasikan bumi yang dioposisikan dengan langit atau ruang angkasa, ada baris-baris yang merepresentasikan hubungan personal yang intim antara manusia yang dioposisikan dengan kesendirian yang merepresentasikan individualisme dan segala tata nilai masyarakat modern dan industrial yang disebutkan di atas, dan ada pula baris-baris yang merepresentasikan perasaan, imajinasi, cita-cita, kenangan yang dioposisikan dengan kenyataan yang bersifat material dan fisikal. Kesemua oposisi itu merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linier di dalam teks, yaitu oposisi antara kebudayaan modern yang invidiualistik, materialistik, rasional dengan kebudayaan tradisional yang komunal, spiritualistik, dan mengutamakan perasaan.

3.      Hipogram: intertekstualitas
Matriks oposisi antara kebudayaan modern yang invidiualistik, materialistik, rasional dengan kebudayaan tradisional yang komunal, spiritualistik, dan mengutamakan perasaan ini dapat sekaligus berupa hipogram. Hanya saja, hipogram untuk matriks yang demikian sudah sangat banyak, terdiri dari banyak teks dengan aneka ragam genre. Salah satu hipogram tekstual yang banyak dikutip adalah teks yang menyatakan bahwa modernisasi merupakan “pont of no return”.

No comments:

Post a Comment