Pages

Wednesday, May 27, 2015

CARA MENENTUKAN FONEM




Fonem yakni bunyi bahasa yang dapat/berfungsi membedakan makna kata. Kalau dalam fonetik misalnya kita meneliti bunyi-bunyi /a/ yang berbeda pada kata-kata seperti yang terdapat pada kata-kata ini, intan dan pahit. Maka dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna/ tidak jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita sebut fonem.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem / bukan kita harus mencari sebuah satuan bahasa biasanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut. Lalu membandingkannya dengan satuan bahasa yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem karena dia bisa berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
Misalnya dalam kata bahasa Indonesia.
/Laba/
/Raba/
Kedua kata itu mirip benar. Masing-masing terdiri dari 4 buah bunyi yang pertama mempunyai bunyi /L/, /a/, /b/, /a/, dan yang kedua mempunyai bunyi /r/, /a/, /b/ dan /a/.
Jika kita bandingkan:
/L/ /a/ /b/ /a/
/R/ /a/ /b/ /a/
Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama yaitu bunyi /L/ dan /r/ kesimpulannya bahwa bunyi /L/ dan /r/ adalah dua buah fonem yang berbeda didalam bahasa Indonesia. Contoh lain pada kata “baku” dan “bahu” yang masing-masing terdiri dari 2 buah bunyi maka bunyi /k/ pada kata pertama dan bunyi /n/ pada kata ke 2 masing-masing adalah fonem yang berlainan yaitu fonem /k/ dan /h/.
Dari kedua buah kata yang mirip disebut kata-kata yang berkontras minimal (minimal pair).
Jadi untuk membuktikan sebuah fonem atau bukan harus mencari pasangan minimalnya. Kendalanya kadang-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang persis sama, misalnya “muda” dengan “mudah”. Ini merupakan pasangan minimal sebab tiadanya bunyi /h/ pada kata pertama dan adanya bunyi /h/ pada kata kedua menyebabkan kedua kat aitu berbeda-beda makna. Jadi bunyi /h/ adalah sebuah fonem.
“Teras” dengan “Teras”
Catatan :
Identitas sebuah fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja, misalnya dalam bahasa Mandarin (Cina ada fonem /t/ dan fonem /th/ dan /thin/ yang artinya mendengar. Demikian juga dalam bahasa Inggris. Contoh fonem /k/ dan /g/ seperti pada pasangan minimal /back/ dengan /bag/, /beck/ dengan /beg/, /bicker/ dengan /bigger/, /got/ dengan /get/.
Dalam bahasa Inggris beban fungsional fonem /L/ dengna /r/ juga tampaknya tinggi, sebab banyak pasangan minimal kita dapati seperti /lawan/ dengan /rawan/, /bala/ dengan /bara/, /para/ dengan /pala/, /sangkal/ dengan /sangkar/, /bantal/ dengan /bantar/. Sebaliknya oposisi /k/ dan /?/ barangkali hanya pada /sakat/ dengan /sa’at/. Jadi beban fungsionalnya rendah.
-          Bunyi /t/ dengan /th/ dalam bahasa Inggris bukan 2 fonem yang berbeda, tetapi 2 bunyi dari fonem sama yaitu fonem /t/
-          Dalam bahasa Indonesia fonem /i/ tidak punya empat buah alofon dalam contoh:      Cina
                        Tarik
                        Ingkar
                        Kali
Yang kedua dengan menggunakan/memperhatikan distribusi:
  1. Distribusi komplementer.
  2. Distribusi bebas.
Ad.1. Yang dimaksud dengan Distribusi Komplementer adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna. Sifatnya tetap pada lingkungan tertentu contoh fonem /p/ dlaam bahasa Inggris ada 3.
  1. Pace /pheis/ yang beraspirasi
  2. Space /spies/ yang tidak beraspirasi
  3. Map /maep/ yang tidak diletupkan
Ad.2. Distribusi bebas bahwa alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi /o/ dan /j/ adalah alofon dari fonem /o/ maka pada kata “obat” dilafalkan /obat/ atau /Ébat/.
“Orang” dilafalkan /oraY/ atau /ÉraY/
Dalam distribusi bebas ini ada operasi bunyi. Yang jelas merupakan 2 buah fonem yang beda karena ada pasangan minimal tapi dalam pasangan lain ternyata hanya varian bebas seperti fonem /o/ dan /u/, buktinya pada kata:

/kalung/  = /kalong/
/lolos/      = /lulus/                   Merupakan varian bebas
/telur/     = /telor/
/lubang/  = /lobang/
Cara menentukan/mengklasifikasi fonem yang lain dengan cara mengklasifikasikan bunyi pda fonetik yakni perhatikan unsur supra segmental à ada bunyi vokal dan konsonan.
Bedanya kalau bunyi-bunyi vokal ada konsonan ini agak terbatas, sebab hanya bunyi yang membedakan makna saja yang dapat menjadi fonem. Itupun hanya tertentu saja.
Fonem segmental yaitu fonem yang berupa bunyi yang didapat sebagai hasil segmetasi terhadap ujaran arus ujaran.
Fonem supra segmental yaitu fonem yang berupa unsur-unsur supra segmental/ fonem non segmental.
Jadi pada fonemik ciri prosodi seperti :
1.      Tekanan
2.      Durasi (Ritme) lamanya waktu
3.      Nada bersifat fungsional atau dapat membedakan makna
Contoh dalam bahasa Batak
Kata tuhu (dengan tekanan pada suku pertama) artinya batu.
        tuhu (dengan tekanan pada suku kedua) berarti ketul.
Dalam Bahasa Indonesia unsur supra segmental tampaknya tidak bersifat fonemis/pun matemis namun, intonasi mempunyai peranan pada tingkat sintaksis, umpamanya kalimat.
Dia membaca komik
Jika    1.  Dengan tekanan pada kata Dia berarti membaca buku itu orang lain.
2.    Dengan tekanan pada kata membaca berarti dia bukan menulis/menjual komik
3.    Dengan tekanan pada komik berarti yang dibacakan bukan Koran. Begitu juga tanpa perubahan struktur hanya dengan memberi intonasi tanya maka kalimat itu menjadi kalimat tanya dan dengan memberi intonasi seruan maka kalimat itu menjadi kalimat seru.
Dalam bahasa Melayu dialek Jakarta kata “tahu” yang diucapkan dengan intonasi biasa berarti saya mengetahui. Tetapi bila diucapkan dengan pemanjangan bunyi /ta/ maka berarti saya tidak mengetahui.
Jika kriteria klasifikasi terhadap fonem sama dengan kriteria yang dipakai untuk klasifikasi bunyi /fon/ maka penamaan fonem pun sama dengan penamaan bunyi.
Kalau ada bunyi vokal depan tinggi bundar maka juga ada/akan ada fonem vokal depan tinggi bundar.
Kalau ada bunyi konsonan hambar bilabial bersuara maka juga akan ada fonem konsonan hambat bilibial bersuara.
Perhatikan kekhasan fonem !!
Kekhasan fonem sama dengan banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa berapa jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain.
Jumlah fonem bahasa Inggris ada 24 buah:
  • 6 fonem vokal (a i u e ə o)
  • 18 fonem konsonan (p t c k b d j g m n η s h r l w dan y)
Ada juga yang menghitung 28 dengan menambah 4 fonem asing (t z f x).
Ada 31 buah + 3 buah fonem diftong /aw/, /qy/, /oy/.
Ada pula yang menambahkan karena hanya menganggapnya sebagai alofon dari fonem lain yaitu fonem /k/.
Perhatikan perubahan fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungan/pada fonem-fonem lain yang berada disekitarnya, mialnya /o/ kalau berada pada silabel tertutup akan berbunyi /É/ dan jika berada pada silabel terbuka akan berbunyi /o/.
Perlu diingat perubahan yang terjadi pada kasis fonem /o/ bahasa Indonesia itu bersifat fonetis bukan fonemis. Tidak mengubah fonem /o/ itu menjadi fonem lain. Dalam beberapa kasus lain dalam bahasa-bahasa tertentu ada dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu menjadi fonem yang lain.
Cara menentukan fonem menurut buku Analisis Bahasa/Fonologi :
  • Memperhatikan fungsi pembeda
  • Pasangan minimal, beban fungsional, ekafonem, dwifonem, dan alofonemis.
Gambaran secara umum adalah sebagai berikut:
Untuk dapat menentukan fonem-fonem suatu bahasa, kita perlu mengetahui seperti diatas. Yang telah disebutkan:
1.      Pasangan minimal dan beban fungsional
Suatu bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan kata dari kata yang lain dapat disebut sebuah fonem.
Identifikasi semacam ini bisa diketahui dengan cara mencari dan membandingkannya dengan pasangan minimal. Perbedaan minimal tersebut biasanya selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen yaitu suatu bagian ujaran. Misalnya “lupa” dan “rupa” merupakan kata yang jelas berbeda sebagai kata. Dari sudut bunyi perbedaan tersebut terdapat dalam perbedaan satu bunyi saja dalam masing-masing kata itu, yaitu /l/ dan /r/ maka kedua fonem itu dalam bahasa Indonesia berbeda secara fungsional dalam arti tadi dengan kata lain fonem /l/ dan /r/ merupakan fonem-fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jepang memang ada bunyi /l/ dan /r/ akan tetapi tidak ada pasangan minimal dimana perbedaan minimal itu terdapat maka dari itu /l/ dan /r/ dalam bahasa Jepang merupakan fonem-fonem yang berbeda.
Catatan:
Pasangan minimal: seperangkat kata yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja.
2.      Penafsiran ekafonem dan penafsiran dwifonem
Sya-rat= KV
Pra-ja= KKV
Ker-bau=KV
Ba-u=KV-V
Adakalanya dalam menggolongkan bunyi tertentu yang kita analisis secara fonetis ke dalam fonem tertentu, dapat kita hadapi kesulitan khusus misalnya apakah harus kita tafsirkan bunyi (dengan) bridge pada kata Inggris bridge sebagai satu fonem (afrikat) atau dua fonem (masing-masing letupan dan frikatif). Kedua macam penafsiran dalam fonologi masing-masing disebut penafsiran ekafonem (monophonematic interpretation) dan penafsiran dwifonem (biphonematic interpretation). Jika kita andaikan bunyi /d/ harus ditafsirkan sebagai satu fonem. Sebaliknya bila penafsiran ekafonem diberikan kepada /dj/ ada lagi dengan /tf/ menarik perhatian. Dalam hal /tf/ dwifonemlah yang paling tepat karena beban fungsionalnya dari oposisi /t/, /i/ tinggi sekali Y share / tear = ship / tip = fish / fit / f/ tersendiri juga amat sering kita jumpai. Bila /tf/ harus ditafsirkan sebagai dua fonem.
3.      Dengan memperhatikan variasi alofonemis
Alofon adalah wujud sama seperti variasi bunyi.
Contoh bunyi /i/ punya variasi /i/ dan /I/
Alofon = variasi fonem.
Fonem merupakan suatu wujud yang agak abstrak karena secara konkrit kita selalu mengucapkan salah satu anggota dari fonem yang bersangkutan.
Kedua kemungkinan tadi tidak menghabiskan semua variasi diantara “anggota” tadi, missal pada kata butter bunyi /t/ itu diucapkan dengan letupan samping. Lain lagi bunyi /t/ sesudah bunyi /b/.
Alofon = salah satu wujud konkrit mengucapkan sesuatu fonem bahwa diantara alofon-alofon dari satu fonem kita tidak bisa mengucapkan salah satu semau-maunya. Yang mana diantara alofon yang harus dipakai tergantung dari bunyi apa yang berdekatan pada fonem. Jadi alofon yang mana dipilih ditentukan oleh lingkungan (environment) alofon tersebut.
Variasi alofonemis termasuk fonologi karena menyangkut kemungkinan konkrit terwujudnya pengucapan dari sesuatu fonem.

FONEMIK



a. Pengertian Fonemik
Untuk memahami apa yang dimaksud fonemik, di bawah ini diuraikan pengertian fonemik menurut Verhaar dan Kridalaksana.
1. Menurut Verhaar, fonemik adalah bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan leksikal dalam bahasa.
2. Menurut Harimurti Kridalaksana, fonemik adalah penyelidikan mengenai sistem fonem dan prosedur untuk menenentukan fonem suatu bahasa.

b. Fonemik dan Fonetik
Perbedaan fonetik dan fonemik adalah fonetik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dari aspek hakikatnya, sedangkan fonemik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dari aspek fungsinya sebagai pembeda arti.
Persamaan Fonetik dan Fonemik adalah:
1.Fonetik dan fonemik merupakan cabang ilmu bunyi.
2.Objek yang diselidiki fonetik dan fonemik adalah bunyi bahasa.
FONETIK
Di bawah payung Fonologi, terdapat dua cabang ilmu yang masing-masingnya merupakan kajian berbeda. Yang satu bernama fonetik dan yang satu lagi bernama fonemik. Secara sekilas, istilah ini memang mirip sehingga sering dirancukan penggunaannya oleh orang awam tetapi bagi linguis, kedua ilmu ini adalah dua ilmu yang berbeda sehingga perlu dipahami betul-betul pengertian dan cakupannya agar tidak terjadi salah kaprah.
Fonetik adalah ilmu yang mempelajari produksi bunyi bahasa. Ilmu ini berangkat dari teori fisika dasar yang mendeskripsikan bahwa bunyi pada hakikatnya adalah gejala yang timbul akibat adanya benda yang bergetar dan menggetarkan udara di sekelilingnya. Oleh karena bunyi bahasa juga merupakan bunyi, bunyi bahasa tentunya diciptakan dari adanya getaran suatu benda yang menyebabkan udara ikut bergetar. Perbedaan antara bunyi bahasa dengan bunyi lainnya menurut fonetik adalah bunyi bahasa tercipta atas getaran alat-alat ucap manusia sedangkan bunyi biasa tercipta dari getaran benda-benda selain alat ucap manusia. Namun demikian, pada dasarnya deskripsi bunyi bahasa fonetik ini masih kurang lengkap sehingga akan dilengkapi oleh deskripsi bunyi bahasa menurut fonemik.
Dalam fonetik, bunyi bahasa dianggap setara dengan bunyi, yaitu sebuah gejala fisika yang dapat diamati proses produksinya. Fonetik memang berorientasi dalam deskripsi produksi bunyi bahasa serta cara-cara yang dapat mengubah bunyi bahasa itu dalam produksinya. Oleh karena itu, fonetik bertugas mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa yang terdapat di dalam suatu bahasa. Salah satu contoh konkretnya adalah identifikasi bunyi-bunyi kontoid dan vokoid dalam suatu bahasa.
FONEMIK
Fonemik sendiri adalah ilmu yang mempelajari fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda makna. Pada dasarnya, setiap kata atau kalimat yang diucapkan manusia itu berupa runtutan bunyi bahasa. Pengubahan suatu bunyi dalam deretan itu dapat mengakibatkan perubahan makna. Perubahan makna yang dimaksud bisa berganti makna atau kehilangan makna. Contoh:
b
a
b
i
‘binatang berkaki empat’



p
a
p
i
sebutan lain untuk ayah
Pada contoh di atas, kata babi memiliki dua konsonan [b] yang menjadi awal suku kata pertama dan kedua sedangkan kata papi memiliki konsonan [p] sebagai awal suku kata pertama dan keduanya. Selain kedua bunyi itu, bunyi lainnya dan posisi/urutan bunyi lain itu sama. Perbedaan bunyi [b] dan [p] pada posisi/urutan yang sama dapat mengubah makna kata, inilah yang dikaji oleh fonemik.
Ada trik lain untuk mengenali suatu kajian merupakan fonetik atau fonemik, yaitu melalui istilah yang digunakan untuk menyebut bunyi bahasa. Fonetisi, para ahli fonetis, cenderung menggunakan istilah fon untuk satuan bunyi bahasa dan nama vokoid-kontoid-semivokoid untuk kategori fon. Untuk fonemik, para ahli menggunakan istilah fonem dan vokal-konsonan-semivokal.


c. Fonem dan Grafem
Jika kita berbicara tentang vokal dan konsonan seperti yang telah kita lakukan, kita berbicara tentang bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Bunyi bahasa yang dihasilkan manusia bermacam-macam. Ada yang membedakan arti, ada yang tidak. Bunyi [p] pada kata pagi diucapkan tidak sama dengan [p] pada kata siap karena [p] pada siap diucapkan dengan kedua bibir tertutup, sedangkan pada kata pagi bunyi [p] ini harus dilepas untuk bergabung dengan bunyi [a]. Perbedaan pelafalan itu tidak menimbulkan perbedaan arti.
Sebaliknya, jika kita membandingkan kata pagi dengan bagi, kita tahu bahwa bunyi [p] dan [b] membedakan kedua kata tersebut. Demikian pula dengan pasangan seperti tua-dua, kila-gita, pola-pula, dan pita-peta. Satuan terkecil dari ciri-ciri bunyi bahasa yang membedakan arti dinamakan fonem. Bunyi [p] dan [b] dalam contoh di atas adalah dua fonem. Berdasarkan kenyataan fonem ditulis di antara tanda garis miring: /pagi/, /kita/, /pola/.
Jika dua bunyi bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan arti, maka kedua bunyi itu disebut alofon dari satu fonem yang sama. Dengan demikian, jika [p] pada kata siap sepert dicontohkan di atas dilafalkan dengan merenggangkan kedua bibir kita, atau tetap mengatupkan kedua bibir itu, tidak akan ada perbedaan arti yang ditimbulkan olehnya. Dalam bahasa, seperti bahasa Thai, perbedan kecil semacam itu dipakai untuk membedakan arti. Sebagai contoh, fonem /t/ yang diucapkan biasa dan disertai hembusan napas yang kuat, sehingga seolah-olah ada bunyi h-nya dipakai untuk membedakan arti. Dengan demikian, maka /tna i/ berarti ‘ginjal’ sedangkan /thai/ berarti ‘orang’. Sebaliknya, bahasa Inggris juga mempunyai perbedaan ucapan seperti dalam bahasa Thai, tetapi dalam bahasa Inggris perbedaan ucapan ini tidak menimbulkan perbedaan arti.
Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem adalah pelambang fonem yang berbentuk huruf. Tidak mustahil bahwa keduanya kelihatannya tidak mempunyai perbedaan. Kata pagi, misalnya, terdiri atas empat grafem atau huruf p-a-g-i dan kebetulan terdiri atas empat fonem pula, yakni /p/, /a/, /g/, dan /i/. Akan tetapi, banyak kata lain yang tidak mempunyai kesamaan seperti itu. Kata sangat dan nyanyi, misalnya, masing-masing dilambangkan oleh enam huruf. Ditinjau dari segi bunyi bahasanya, sangat terdiri dari lima fonem, yakni /saYat/, dan nyanyi dari empat fonem, yakni /ñañi/. Huruf ng pada sangat melambangkan satu fonem; demikian pula huruf ny pada nyanyi.

CIRI PROSODI





 Ciri prosodi adalah jenis kelas pembeda (kelas yang membedakan satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya) yang meliputi titi nada, tekanan, dan aksen.
a. Titinada
Dari sudut fonetik akustis semua bunyi adalah getaran udara, dan makin tinggi frekuwensi getaran itu (lazimnya dihitung perderik), makin tinggi nada bunyi. Nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat pendengaran adalah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit antara pita-pita suara, dan frekuwensi getaran udara yang ditimbulkannya ditentukan oleh frekwensi getaran pita-pita suara.—istilah Inggris untuk titi nada adalah pitch.
Salah satu fariasi titinada yang menyertai seluruh kalimat, atau bagian kalimat , adalah intonasi (intonation) atau lagu melody. Anda dapat mendengar dengan mudah bahwa kita tidak memakai nada yang sama bila kita berbicara; coba saja ucapkan beberapa kalimat pada nada satu dari gitar, atau piano, dan segera anda mendengar betapa aneh pengucapan semacam itu. Jadi hampir setiap kata ( dan tidak jarang selam mengucapkan satu kata saja) dalam kalimat diucapkan dengan nada yang lain lagi. Dari itu dalam kalimat dihasilkan sesuatu lagu: intonasi.
Demi gampangnya analisa intonasi, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (raid); atau tinggi rendahnya dibedakan menurut angka saja, mis. angka 1 sampai dengan angka 4, seperti pada musik (tetapi tidak sama dengan jarak di antara nada dalam musik). Misalnya kalimat Apakah Saudara sudah makan? Dapat dianalisa intonasinya sebagai berikut:
Yaitu intonasi mulai pada 4, menurun sampai pada 1 pada saat mulai diucapkan kata makan, dan menaik sampai pada 3 pada akhir kalimat itu. Tingginya yang tepat hanya dapat ditentukan dalam laboratorium fonetik saja. Walaupun demikian tanpa peralatan laboratorium pun kita dapat mencapai sesuatu analisa yang cukup memuaskan juga, khususnya bila kita mempunyai bakat musik, dan telinga kita “peka” akan tinggi rendahnya nada.
            Perbedaan nada tidak absolut, artinya tidak mutlak perlu setiap penutur Indonesia memulai kalimat tanya tadi pada (mis.) frekwensi 800 getaran per detik. Yang penting adalah perbedaan relatif kita bisa mulai memainkan suatu lagu di piano pada kunci nada yang mana saja kita sukai, dan demikian pula dengan nada suara. Suara wanita dan pria dewasa biasanya berbeda satu oktaf tingginya, tetapi perbedaan relatif tinggi rendahnya kalimat tertentu yang dituturkannya agaknya tidak terlalu banyak. Malahan orang yang sama dapat berintonasi lebih rendah frekwensinya pada satu saat, dapat lebih tinggi pada saat lain dalam kedua hal itu perbedaan relatif nada-nada intonasi tertentu agaknya tidak teralu jauh.
            Perbedaan relatif di antara nada-nada yang dipakai dalam intonasi dapat berbeda di antara bahasa-bahasa (mis. dalam bahasa Prancis pada yang tertinggi dan yang terendah tidak terlalu berjauhan, dibandingkan dengan bahasa Inggris), demikian pula di antara dialek-dialek, dan di antara penutur bahasa individuil.

b.Tekanan dan Aksen

Tekanan (Inggr. stress) dan aksen (accent) sulit sekali dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari sudut istilah-istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh istilah-istilah tersebut. Atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk sebagian adalah terminologis saja (“terminologi” = peristilahan) dan untuk sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta.
            Kesulitan terminologis belum dipecahkan oleh para ahli fonetik dan fonologi. Istilah Inggris stress sering dipakai sebagai nama dari accent, jadi stress dan accent sama. Misalnya kaidah Prancis bahwa dalam setiap kata silabe terakhirnya diberi stress dapat dirumuskan pula dengan memakai istilah accent. Atau mis. dalam bahasa Inggris ada kaidah bahwa silabe terakhirnya di depan akhiran –ic atau –ical harus diberi stress atau dirumuskan juga dengan menyatakan bahwa silabe tersebut harus diberi accent. Mari kita putuskan sekarang untuk gejala semacam itu kita pakai istilah accent, bukannya istilah stress, Indonesianya: istilah “aksen”, bukannya istilah “tekanan”. Jangan kacaukan arti istilah ilmiah “aksen” dengan arti “aksen” dalam bahasa sehari-hari, dimana “aksen” sering berarti “logat” atau pelafalan menurut bahasa atau dialek tertentu.
            Istilah “tekanan” kita pakai untuk apa yang dinamai sebagai “amplitudo” dalam ilmu alam (dari kata Latin amplitudo ‘lebarnya’). Amplitudo adalah “lebarnya” getaran udara. Itu jelas berbeda dari frekwensi yang diuraikan dalam pas. (14) di atas. Tingginya frekwensi netral terhadap amplitudo masing-masing getaran. Mis. bila anda menggerakkan tangan di depan dada dari kanan di kiri dan kembali dua kali sesekon, maka “frekwensi” setinggi “2” itu dapat anda laksanakan dengan “amplitudo” sepuluh sentimeter atau dengan amplitudo tigapuluh sentimeter. Memang suatu frekwensi yang tingginya 2 sedetik tidak dapat anda dengar. Tetapi dapat anda dengar bunyi yang nadanya sesuai dengan frekwensi yang anda hasilkan. Bila demikian, apa akibat dari amplitudo gerakan tersebut? Bunyinya akan lebih keras jika amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudolah yang menentukan kerasnya atau kuatnya bunyi yang dihasilkan itu. Hal itu lepas dari frekwensi.
            Di sini ada kesulitan terminologis lagi. Karena buku-buku fonetik sering membedakan tekanan (stress, dan memang diandalkan di sini stress itu menyangkut besarnya amplitudo) atas “tekanan tinggi” dan “tekanan rendah” (high stress dan low stress). Bila istilah “tinggi” dan “rendah” tidak disalahtafsirkan, kita tidak keberatan. Padahal, bahaya salah tafsir ada: istilah “tinggi” dan “rendah” dapat dianggap menyangkut frekwensi dan frekwensi lain dari amplitudo. Maka dari itu mari kita bedakan, bila perlu, tekanan (stress) itu sebagai “tekanan kuat” dan “tekanan lemah” (strong stress dan weak stress) istilah “kuat” dan “lemah” tidak begitu menyesatkan, karena besarnya amplitudo getaran memang menentukan kuatnya bunyi yang dihasilkan.
            Tekanan, seperti halnya dengan nada, adalah relatif, tidak absolut. Bila sebagian dari suatu tuturan diucapkan dengan suara yang lebih kuat daripada kuatnya suara dalam bagian lain-lainnya dalam tuturan tersebut, perbedaan relatif tersebut memadai. Ukuran absolut kuatnya bunyi (yaitu dengan bilangan jumlah “desibel”) tidak penting bagi fonetik.
            Sekarang mari kita ambil suatu contoh kongkrit dari tekanan. Mis. Bila saya ucapkan kalimat Saya mau pergi ke Buru (maksudnya pulau Buru), tetapi entah karena apa anda mendengar “ke Boro”, dan heran mengapa saya mau ke Boro, maka saya dapat mengulangi kalimat tadi dengan menekankan keras “ke Buru”. Tekanan disini, yaitu pengucapan kata-kata tersebut, adalah ucapan dengan amplitudo yang lebih besar; tekanan disini disebut “tekanan kontras”: [.....] ke Buru, bukan ke Boro.
            Sekarang mari kita pindah ke masalah aksen, mis. dengan contoh tadi mengenai aksen pada akhir dalam bahasa Prancis, atau aksen pada silabe yang di depan akhiran –ic atau –ical dalam bahasa Inggris. Di sini jelas aksen tidak dipakai untuk membedakan secara kontrastif silabe yang diaksenkan dari silabe lain-lainnya dalam kata yang bersangkutan. Jadi aksen “leksikal” hanya merupakan ciri khas terstruktur bunyi kata yang bersangkutan. Tetapi rupa-rupanya disini anda menanyakan apakah aksen itu secara kongkrit berbeda dari tekanan, artinya apakah aksen itu mungkin tanpa amplitudo yang lebih besar. Jawabannya adalah bahwa memang ada dua jenis aksen: aksen yang terlaksana dengan tekanan (disebut “aksen tekan”, Inggr. stress accent, sering juga disebut “aksen dinamis”); dan aksen yang terlaksana dengan nada (disebut “aksen nada”, Inggr. pitch accent, sering juga disebut “aksen musikal”). Aksen itu baik tanpa tekanan maupun tanpa nada memang tidak pernah ada. Tetapi karena aksen dapat dengan tekanan, dapat juga dengan nada, maka aksen tidak sama dengan tekanan, tidak sama juga dengan nada. Lebih sulit lagi, tekanan dapat terdiri dari amplitudo yang lebih besar saja, tetapi sering disertai oleh nada yang lebih tinggi juga. Mis. tuturan tadi [.....] ke Buru, bukan ke Boro agaknya akan diucapkan dengan nada lebih tinggi pada kata-kata Buru dan Boro, tetapi peninggian nada itu tidak masuk hakekat tekanan.
            Ilmu linguistik belum begitu maju dalam usaha memecahkan masalah kebersamaan nada, tekanan, dan aksen. Yang penting ialah kita bedakan antara aksen tekan dan aksen nada. Pembedaan tersebut menyangkut fakta-fakta linguistis. Mis. aksen dalam bahasa Jepang adalah aksen nada, tetapi aksen dalam bahasa Indonesia adalah aksen tekan. Itu tidak berarti bahwa aksen dalam bahasa Jepang tidak dapat disertai tekanan lebih kuat, atau bahwa aksen dalam bahasa Indonesia tidak dapat disertai nada yang lebih tinggi, tetapi hal itu tidak mutlak perlu.
            Akhirnya masih dapat ditanyakan apa hubungan antara aksen tekan dan struktur silabe, dan hubungan antara aksen nada dan struktur silabe. Masalah ini belum dibahas dengan mendalam oleh para ahli linguistik. Puncak silabe, anda ingat dari pas. (13) di atas, ditentukan oleh sonoritas. Sonoritas boleh disebut perbanyakan sumber bunyi oleh adanya pemantulan kembali bunyi yang dihasilkan oleh pita-pita suara. Sebetulnya bertambahnya sonoritas tidak berarti bertambahnya amplitudo (sonoritas itu lain dari tekanan), tetapi dapat berarti gelombang udara dari sumber-sumber banyaknya itu tidak sama sekali serentak lagi; hal itu interesan dari sudut ilmu bunyi sebagai cabang ilmu alam, tetapi untuk fonetik tidak penting. Dewasa ini para ahli menduga bahwa aksen nada lebih berhubungan dengan panjangnya bunyi silabus.