Pages

Sunday, March 30, 2014

Teori Struktural Vladimir Propp

Selintas tentang Teori Struktural Vladimir Propp
Propp --lengkapnya Vladimir Jakovlevic Propp, lahir 17 April 1895 di St. Petersburg, Jerman-- adalah seorang peneliti sastra yang pada masa 1920-an banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Formalis Rusia. Meskipun banyak berkenalan dengan kaum formalis, Propp bukanlah seorang formalis (bdk. Eagleton, 1988:115; Jefferson, 1988:54). Dikatakan demikian karena ketika Formalisme Rusia sedang mangalami krisis (menjelang tahun 1930), ia justru memunculkan semacam poetika baru dalam hal pengkajian dan penelitian sastra. Hal itu dapat dibuktikan melalui buku Morphology of the Folktale (1975).
Dapat dikatakan bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-teori yang berkembang sebelumnya. Propp (1975:3--18) berpendapat bahwa para peneliti sebelumnya banyak melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih. Selain itu, sedikit banyak teori Propp juga mendekonstruksi teori formalis. Kalau Formalisme menekankan perhatiannya pada penyimpangan (deviation) melalui unsur naratif fabula dan suzjet dalam karya-karya individual untuk mencapai nilai kesastraan (literariness) sastra, Propp lebih menitikberatkan perhatiannya pada motif naratif yang terpenting, yaitu tindakan atau perbuatan (action), yang selanjutnya disebut fungsi (function).
Propp menyadari bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita (lihat juga: Junus, 1983:63). Ia melihat bahwa tiga unsur itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap. Sebagai contoh, yang terpenting di dalam konstruksi "raksasa menculik seorang gadis" adalah perbuatan atau tindakannya, yaitu "menculik", karena tindakan itu dapat membentuk satu fungsi tertentu dalam cerita. Seandainya tindakan itu diganti dengan tindakan lain, fungsinya akan berubah. Tidak demikian jika yang diganti adalah unsur pelaku atau penderita. Penggantian unsur pelaku dan penderita tidak mempengaruhi fungsi perbuatan dalam suatu konstruksi tertentu. Dilihat dari contoh tersebut, jelas bahwa teori Propp diilhami oleh strukturalisme dalam ilmu bahasa (linguistik) sebagaimana dikembangkan oleh Saussure (bdk. Selden, 1991:59).
Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia, yang disebutnya fairytale, Propp (1975:21--24) akhirnya memperoleh simpulan (1) anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, (2) jumlah fungsi dalam dongeng terbatas, (3) urutan fungsi dalam dongeng selalu sama, dan (4) dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili satu tipe (lihat juga: Teeuw, 1984:291; Scholes, 1977:63). Sehubungan dengan simpulan (2), Propp menyatakan bahwa paling banyak sebuah dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun, ia juga menyatakan bahwa setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, yang membentuk kerangka pokok cerita.
Tiga puluh satu fungsi yang dimaksudkan oleh Propp adalah seperti di bawah ini. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi (barangkali, kalau kita mengganti lambang itu sesuai dengan keinginan kita, tentu juga tidak ada salahnya). Adapun fungsi-fungsi dan lambangnya sebagai berikut.

FUNGSI LAMBANG

1. Absentation 'ketiadaan' b
2. Interdiction 'larangan' ¡
3. Violation 'pelanggaran' d
4. Reconnaissance 'pengintaian' e
5. Delivery 'penyampaian (informasi)' V
6. Fraud 'penipuan (tipu daya)' h
7. Complicity 'keterlibatan' q
8. Villainy 'kejahatan' A
8a. Lack 'kekurangan (kebutuhan)' a
9. Mediation, the connective incident
'perantaraan, peristiwa penghubung' B
10. Begining counteraction 'penetralan
(tindakan) dimulai' C
11. Departure 'keberangkatan (kepergian)' ­
12. The first function of the donor
'fungsi pertama donor (pemberi)' D
13. The hero's reaction 'reaksi pahlawan' E
14. Provition or receipt of a magical agent
'penerimaan unsur magis (alat sakti)' F
15. Spatial translocation 'perpindahan (tempat)' G
16. Struggle 'berjuang, bertarung' H
17. Marking 'penandaan' J
18. Victory 'kemenangan' I
19. The initial misfortune or lack is liquidated
'kekurangan (kebutuhan) terpenuhi' K
20. Return 'kepulangan (kembali)' ¯
21. Pursuit, chase 'pengejaran, penyelidikan' Pr
22. Rescue 'penyelamatan' Rs
23. Unrecognised arrival 'datang tak terkenali' O
24. Unfounded claims 'tuntutan yang tak mendasar' L
25. The difficult task 'tugas sulit (berat)' M
26. Solution 'penyelesaian (tugas)' N
27. Recognition '(pahlawan) dikenali' Q
28. Exposure 'penyingkapan (tabir)' Ex
29. Transfiguration 'penjelmaan' T
30. Punishment 'hukuman (bagi penjahat)' U
31. Wedding 'perkawinan (dan naik tahta)' W

Catatan:
Fungsi-fungsi dan lambang-lambang yang dicantumkan ini hanya terbatas pada yang pokok saja; lebih lengkapnya lihat buku Propp (1975:26--65).

Menurut Propp (1975:79--80), jumlah tiga puluh satu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) villain 'lingkungan aksi penjahat', (2) donor, provider 'lingkungan aksi donor, pembekal', (3) helper 'lingkungan aksi pembantu', (4) the princess and her father 'lingkungan aksi seorang putri dan ayahnya', (5) dispatcher 'lingkungan aksi perantara (pemberangkat)', (6) hero 'lingkungan aksi pahlawan', dan (7) false hero 'lingkungan aksi pahlawan palsu' (lihat juga: Hawkes, 1978:91; Scholes, 1977:104; Schleifer, 1987:96). Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Demikian selintas tentang teori (naratologi) struktural(is) versi Vladimir Propp. Kendati dalam perkembangan selanjutnya Propp banyak dikecam oleh peneliti lain, di antaranya oleh Guipen dari Belanda (Teeuw, 1984:293), sebagian dari konsep teorinya tetap menjadi pegangan mereka dalam menemukan cara analisis sastra yang baru. Harus diakui bahwa ternyata para ahli seperti Bremond, Greimas, Levi-Strauss, Souriau, Todorov, bahkan juga Roland Barthes, banyak memanfaatkan konsep yang telah dihasilkan Propp. Namun, dalam perkembangan terakhir, Propp tidak konsekuen pada prinsipnya sendiri. Ia semula menolak adanya pendekatan historik, tetapi kemudian ia kembali ke orientasi historik. Hal itu dapat dibuktikan melalui bukunya Theory and History of Folklore (1984) yang merupakan kumpulan karangan menjelang akhir hayatnya (1970).

Teori Sastra

1.    Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia

                Asalah angkatan dan penulisan sejarah sastra indonesia erupakan dua persoalan dalam satu wajah, yaitu persoalan sejarah sastra. Jadi, pertama kali akan dibahas masalah angkatan sastra, dan yang kedua, akan dibahas masalah penulisan sejarah sastra indonesia.
1.       Masalah Angkatan
Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang oleh Rene Wellek (1968:39) dipecah menjadi tiga yaitu : Teori Sastra, Kritik sastra, Sejarah sastra. teori sastra studi sastra yang berhubungan dengan karya sastra yang konkret, sedang sejarah sastra adalah studi sastra yag membicarakan perkebangan sastra sejak lahirnya sampai perkembangan yang terakhir (Pradopo, 1967:9; Wellek, 1968:255) begitu jugalah sejarah sastra indonesia.
Pengertian periode di sini ialah seperti yang dikemukakan oleh Wellek (1968:265) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem nora-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, pennyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dan diruntut.
Angkatan sastra tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena mereka hidup pada kurun masa yang sama sehingga ereka mempunyai ide, gagasan yang saa atau ada kemiripannya.
Dalam studi sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra sendiri seperti yang dikemukakan oleh Wellwk bahwa kesusastraan jangan dikonsepsi hanya sebagai crmin pasif atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan intelek manusia, sastra hendaknya ditetapkan dengan kriteria sastra murni.
Ciri-ciri intrinsik karya sastrayang menjadia dasar penentuan adanya sebuah angkatan meliputi : jenis sastra(genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra yang meliputi struktur penceritaan (alur), penokohan, latar, sarana-sarana sastranya(literary devices) seperti : pusat pengisahan, sibol, humor, pembayangan, suspense. Kepentingan penggolongan angkatan dan periodisasi terutaa berguna untuk mempelajari perkembangan sastra.
2.       Penulisan Sejarah Sastra Indonesia
Penulisan sejarah sastra indonesia dimulai dengan lahirnya, latar belakang lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut. Ada bermacam-macam pendapat mengenai lahirnya kesusastraan Inodonesia, hanya saja dapat dipakai sebagai ancar-ancar adalah pendapat atau pandangan Nugroho Notosusanto yaitu lahirnya ekitar lahirnya nasionalitas Inonesia secara resmi sebab sesudah itu, karya cipta sastra sudah bersifat nasional Indonesia, bahkan cipta daerah lagi. Secara resmi diakui nasionalitas Indonesia lahir tanggal 20 Mei 1908, yaitu berdirinya Budi Utomo, tetapi penentuan lahirnnya satra harus didasarkan juga pada adanya karya sastra secara konkret. Kenyataannya karya sastra yang bersifat nasional Indonesia baru ada sekitar tahun 1920. Secara sporadis antara 1908-1920 itu ada satu dua karya sastra yang bersifat nasional dengan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia meskipun pengakuannya secara resmi pada tanggal 28 Oktober 1928. Jadi secara tegas lahirnya sastra Indonesia tahun 1920 meskipun itu tidak mutlak.
Penulisan sejarah sastra Indonesia sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara. Yang pertama dengan cara teori estetik resepsi atau estetika tanggapan. Yang kedua dengan cara teori penyesuaian rangkaian perkembangan sastra dari periode ke periode atau dari angkatan ke angkatan.
Di samping itu, penulisan sejarah sastra Indonesia juga dapat dilakukan secara sinkronis dan diakronis. Secara sinkronis ialah membicarakan (menulis) sejarah sasra dalam salah satu tingkat perkembangannya atau salah satu periodenya, misalnya peridoe Angkatan 45 atau periode Angkatan Pujangga Baru. Secara diakronis membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam berbagai tingkat perkembangannya, dari sejak lahir hingga perkembangannya yang terakhir.
2.1  Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan Sejarah Sastra
Seorang ahli sejarah sastra harus lebih dahulu menjadi seorang pembaca bagi dirinya sendiri sebelum ia dapat memahami dan mengklaskan sebuah karya sastra. sebuah karya sastra harus dipahami sebagai penciptaan dialog, dan keahlian fillogi harus didasarkan pada pembacaan kembali teks sastra secara terus menerus, bukan hanya didasarkan pada fakta saja (jasus, 1974:14)
Jadi, adanyna konsep-konsep tentang sastra yang berbeda ini menyebabkan perbedaan-perbedaan pemahaman dan penilaian atas karya sastra antara seorang dengan yang lain atau antara periode dengan periode yang lain.
Dalam kesusastraan indonesia,, karya-karya sastra dari sejak Balai Pustaka sapai sekarang selalu mendapat tanggapan pembaaca. Tanggapan ereka selalu berubah. Hal ini disebabkan seperti diatas, oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep sastra setiap periode.
Jadi, enurut teori estetika resepsi ini, sejarah sastra itu ialah sejarah karya sastra dari periode ke periode atau sejarah resepsi sastra dari periode ke periode.
2.2  Metode Peruntutan Perkembangan Karya Sastra
Metode peyusunan kedua adalah runutan perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok besar atau kecil, sesuai dengan kepengarangan atau jenis sastra, tipe gaya atau tradisi kebahasaan.
Karena itu, dalam penuyusunan sejarah sastra diperlukan diskripsi engenai ciri-ciri sastra, sesudah diseleksi karya-karya yang bernilai, dalam setiap periode. Maka ciri-ciri sastra itu adlah ciri intrinsik dalam struktur karya sastra, baik mengenai gaya bahasa, gaya cerita alur, penokohan, sarana-sarana sastra seprti pusat pengisahan, huor, simbol, konflik, dan sebagainya, maupun perasalahan, gagasan, pemikiran, kefilsafatan yang terdapat dalam karya sastra dalam jalinannya dengan struktur estetiknya.
       2.2.1. Periode Sastra Indonesia
                        Periode H.B. Jassin, 1953 (via Notosusanto, 1963: 199-200):
A.      Sastra Melayu Lama
B.      Sastra Indonesia Modern
Sastra Indonesia modern dibagi 3 angkatan:
1.      Angkatan 20
2.      Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3.      Angkatan 45
Karakteristik masing-masing angkatan:
Angkatan 20 prosanya menggambarkan
1.      Pertentngan paham antara kaum tua-muda;
2.      Soal kawin paksa, permaduan, dll;
3.      Kebangsaan belum maju ke depan, masih kedaerahan. Kelainan dengan sastra Melayu Lama;
4.      Bahasa percakapan dimasukkan diantara baca tulisan;
5.      Ada terdapat analisa jiwa;
Angkatan 33
1.      Angkatan ini telah bebas menentukan nasibnya sendiri
2.      Persoalannya ialah: menghadapi asyarakat kota dengan masalah kota
3.      Juga: bagaimana menggunakan kebebasan dan bagaimana fungsi kebebasan terhadap masyarakat
4.      Penting adalah: persoalan kebangunan kebangsaan, jadi hasil karya mereka bercorak kebangsaan
5.      Dalam segala keberagaannya yang menjadi pengikat mereka adalah cita-cita nasional dan
6.      Kesamaan dengan angkatan ’20 tendensius, didaktis
Periodisasi Boejoeng Saleh (1956: 8):
1.      Sebelum tahun 20-an
2.      Antara tahun 20-an hingga tahun 1933
3.      Tahun 1933 hingga mei 1942
4.      Mei 1942 hingga kini (1956)
Ø  Periode balai pustaka: 1920-1944 ini berarti bahwa lahirnya angkatan Balai Pustaka seitar tahun 1920 dan melemahnya kekuatan dan lenyapnya sekitar tahun 1940. Karya-karya roman Balai Pustaka yang kuat diantaranya: salah pilih (1928), halubalangn raja (1934), katak hendak jadi lembu (1935), salah asuhan (1928) dan masih ada yang lain. Kurun waktu antara tahun-tahun itu dapat dianggap sebagai as terintegrasinya peridode angkatan Balai Pustaka. Sesudah 1935 kekuatannya mulai melemah, namun masih terbit karya-karya roman yang baik, yang kuat seperti Neraka Dunia, Kalau Tak Untung, Tenggelamnya kapal Van der wijk. Sesungguhnya masih ada karya sastra dari pengarang Balai Pustaka sesudah 1940, namun tinggal sisa-sisa saja yang tidak berarti.
Ø  Periode Pujangga Baru: 1930-1945. Sesungguhnya para sastrawan Pujangga Baru telah menulis sajak-sajak di sekitar 1920, namun sekitar 1930 menunjukan ciri-ciri periode atau angkatan yang kuat, seperti Indonesia Tupah Darahku (1929), Madah Kalana (1931), Dian Yang Tak Kunjung Pada(1932). Pada tahun 1933 terbitlah majalah Pujangga Baru jadi asa terintegrasinya antara 1933-1940. Sesudah tahun 1940 kekuatan sastra Pujangga Baru mulai melemah, dan ahirnya sekitar 1945 sudah diganitkan peranannya oleh angkatan 1945
Ø  Periode Angkatan 45: 1940-1955. Di sekitar tahun 1940 itu penulis angkatan 45 mulai menulis karya-karya sastranya. Periode ini  diisi oleh karya-karya sastra para sastrawan yang mulai menulis pada permulaan tahun 40-an meskipun ad jug satu atau dua pengarang yang menulis pada tahun 30-an. Asa produktif antara 1943-1953
Ø  Periode Angkatan 50: 1950-1970. Dalam periode ini karya sastra adalah eurpakan tulisan pra sastrawan yang pada umumnnya menulis awal tahun 50-an dan 60-an.
Ø  Periode Angkatan 1970- 1984. Para sastrawan yang karyanya memberi corak sastra periode ini pada umumnya sudah mulai enulis pada tahun 60-an
2.2.2 Ciri-ciri intrinsik dalam Periode-periode Sastra Indonesia
            Ciri-ciri intrinsik karya sastra yang diuraikan meliputi dua aspek, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetiknya. Ciri-ciri struktur estetik meliputi alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, gaya bercerita, dan gaya bahasa. Ciri-ciri estetiknya meliputi ‘‘bahan-bahan’’ kasrya sastra, seperti masalah pemikiran, filsafat, pandangan hidup, gabaran kehidupan, bahkan juga termasuk bahasanya sendiri.
a.      Ciri-ciri struktur estetiknya periode pujangga baru
Puisi:
1.      Puisinya puisi baru bukan pantun dan syair lagi; ada jenis baru, yaiutu soneta berasal dari barat; ada juga balada tetapi rupanya belu dikenal betul;
2.      Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah
3.      Bahasa kiasan utama ialah perbandingan;
4.      Bentuknya simetris. Ini pengaruh puisi lama; ada periodsiitas dari awal sampai akhir sajak, tiap barisnya pada umunya terdiri dari dua periodus dua kata;
5.      Gaya ekspresi aliran romantik tapak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan dala indah, tenteram, dan sebagainya;
Prosa:
1.      Alurannya lurus;
2.      Teknik perwatakan sudah mulai dengan watak bulat; teknik perwatakan tidak analisis langsung seperti roman Balai Pustaka, diskripsi fisik sedikit;
3.      Tidak banyak digresi seperti roman Balai Pustaka, maka alurnya menjadi lebih erat;
4.      Pusat pengisahan dengan metode orang ketiga objektif;
5.      Gayanya romantik
b.      Ciri-ciri Ekstrinsik/Ekstra Estetik
1.      Masalahnya bersangkut paut dengan kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi, masalah pemilihan pekerjaan, masalah individu manusia, dsb;
2.      Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mewarnai karya sastra Pujangga Baru; dan
3.      Bersiftat dedaktis
2.Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar
Pengantar
            Sejak lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern selalu berkembang. Dengan demikian, hal ini membuat adanya persambungan sejarah sastra indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang yang merupakan sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis oleh M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam jong sumatra No 4, Tahun III, April 1920. Sebuah karya sastra itu sesungguhnya merupakan response terhadap karya saebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan atau penyambutan yang bersifat penerusan konvensi maupun penyimpangan konvensi yang telah ada.
Periodisasi Puisi Indonesia Modern
            Sejarah sastra tidak lepas dari masalah periodisasi (pembabakan masalah). Periode adalah bagian waktu yang di kuasai oleh norma-norma sastra daan konvensi-konvensi sastra yang munculnya, meluasnya, keberbagiannya, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek, 1968: 265). Sampai sekarang yang dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah tahun 1920, akan tetapi pertama kali ditulis sajak Indonesia modern oleh M. Yanin berjudul “Tanah Air”.
            Jadi, sesungguhnya lahirnya kesusastraan Indonesia modern itu bukan hanya ditentukan oleh sastra prosa saja, melainkan juga ditentukan sastra puisi (Bandingkan Rosidi, 1964: 7). 
            Sampai sekarang, pembabakan waktu yang ada dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1963:209-210) sebagai berikut:
I.                    Masa kebangkitan (1920-1945)
II.                  Masa perkembangan (1945-sekarang)
Masa perkembangan terdiri atas tiiga periode:
1.      Periode ‘20
2.      Periode’33
3.      Periode ‘42
Masa perkembangan ada dua periode
1.      Periode ’45
2.      Periode ‘50
Model periodisasi Nugroho itu dipergunakan jugaoleh Ajib Rosidi (1969:13)
I.        Masa kelahiran dan masa penjadian (1900-1945)
1.      Periode awal 1933
2.      Periode 1933-1942; dan periode 1942 sampai 1945
II.      Masa perkembangan (1945-sekarang):
1.      Periode 1945-1953
2.      Periode 1953-1961
3.      Periode 1961 sampai sekarang (1969)
Berdasarkan ciri-cri tiap periode, pembabakan waktu puisi Indonesia modern dapat disusun sebagai berikut.
1.      a.Periode Pra-pujangga Baru: 1920-1933
b.Periode Pujangga Baru: 1933-1942
2. Periode Angkatan ‘45: 1942-1955
3. Periode ’50 sampai ‘60’an: 1955-1970; dan
4. Periode ’70 sampai ’80: 1970-1990
Periode Pujangga Baru (1920-1942)
             Perlu diterangkan di sini bahwa periode Pra-Pujangga baru itu merupakan awal periode puisi Pujangga Baru yang menunjukan ciri-ciri yang tidak berbeda dengan Pujangga Baru. Dengan demikian, dalan periodisasi puisi periode Pujangga Baru itu meliputi kurun waktu 1920-1942. Sesuai dengan pengertian periode yang dikemukakan di  depan, yaitu periode 1920-1933 merupakan timbul dan awal perkembangan suatu periode, yaitu periode Pujangga Baru dengaan erbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933 dan seterusnya, sedang periode 1940-1942 merupakan periode melemahnya norma puisi Pujangga Baru ( dan kemudian “lenyap”).
            Pada periode 1920-1942 berunculan penyair Indonesia modern Angkatan Pujangga Baru. Pada waktu sekarang sebagian besar sajak mereka telah diinvetarisan oleh Badudu dkk. Berjudul Perembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga tahun 40-an (1984: 73-977).  Dicatat 134 penyair dengan karya-karya sajaknya. Diantaranya yang terkenal: Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana dsb.
Perioe Angkatan 45 (1942-1955)
            Puisi Angkatan 45  beraliran realise yang mengutamakan penggambaran kehidupan secara nyata. Dalamnya tergambar kehidupan sehari-hari yang dapat dialami secara nyata.
a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
1.      Puisinya puisi bebas, tidak terkait bait, jumlah baris, dan persajakan;
2.      Gaya ekspresionistis;
3.      Aliran dan gaya realisme;
4.      Pilihan kata (diksi)
5.      Bahasa kiasan
6.      Gaya ironi dan sinisme menonjol
b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.      Individualisme menonjol
2.      Sajak-sajak mengekpresikan kehidupan batin
3.      Sajak-sajak mengemukakan masalah kemanusiaan
4.      Masalah keasyarakatan menonjol
5.      Filsafat eksistensialisme mulai dikenal
Periode 50-an 60-an (1955-1970)
            Periode 50-an 60-an  pada dasarnyna masih meneruskan konvensi Angkatan 45. Hanya saja pada periode ini gaya pernyataannya menjadi kurang dan berubah menjadi gaya bercerita. Berkembang puisi epik yang terkenal dengan balada.
            Puisi angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan sekitar masalah perang, masalah kemanusiaan menjadi menonjol dala arti, orang ingin merdeka terbedas dari penjajahan, bebasa dari kekejaman perang yang membuat penderitaan manusia.
a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
1.      Gaya antra mulai tampak dalam balada-balada
2.      Gaya ulangan (paralelisme) mulai berkembang
3.      Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan Angkatan 45 dan
4.      Gaya slogan dan retorik makin berkembang
b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.      Ada gambaran suasana muram
2.      Sajak-sajak mengungkapkan masalah osial
3.      Banyak dikemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
Periode 1970-1990
            Dengan munculnya penyair-penyair baru yang berbakat pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970’an timbullah periode sastra, khususnya puisi yang mempunyia corak dan ciri tersendiri.
            Perlu dikemukakan di sini bahwa ada seorang penyair wanita yang telah menulis sejak awal tahun 1960-an sam pai sekarang masih tetap aktif menulis adalah Isma Sawitri.
a.      Ciri-ciri Struktur Estetik
1.      Puisi bergaya mantra
2.      Dipergunakan kata-kata daerah secara mencolok
3.      Mempergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan makna baru
4.      Gaya penulisan yang prosais
b.      Ciri-ciri Ekstra Estetik
1.      Puisi mengemukakan kehidupan batin eligius
2.      Cerita, lukisan yang bersifat alegoris atau parabel sangat banyak
3.      Sajak-sajak menuntut hak-hak aasi manusia
4.      Mengemukakan kritik sosial atas kesewnangan terhadap kau lemah.
Antologi PuisiIndonesia Modern 
            Pastilah antoogi sastra dana ntologi puisi khususnya sangat penting untuk mempelajri puisi dan periode ke periode dan untuk menyusun sejarah sastra. dapat dikatakan H.B Jassinlah yang pertama kal enyusun antologi alias bunga rapai sastra yang terbanyak. Akan tetapi, pastilah Sutan Takdir Alisjahbana yang pertama kali menyusun antologi puisi seperti tampak pada: Puisi Baru yang merupakan antologi puisi Pujangga Baru. Dengan demikian, Subagio Sastrawardojo yang lahir dua tahun sesudah Chairil Anwar (1922), tahun 1924, saja-sajaknya terdapat dalam Tonggak I sejilid dengan sajak Chairil Anwar meskipun ia dapat digolongkan penyai periode 1955-1970 dan masih tetap menulis sajak hingga sekarang.
Penutup
            Pastilah ada hal-hal yang belum tercakup dala tulisan ini yang membicarakan sejarah puisi Indonesia odern 1920-1990 “hanya” dala garis besarnya saja, yang penting ssepanjang sejarah, sejak Amir Hamzah,, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono sampai dengan Soni Farid aulana.
3.Perkembangan yang Dialektis dalam Kesusastraan Indonesia Modern
            Karya sastra itu merupakan respons (jawaban atau tanggapan) terhadap karya sastra sebelumya. Tak ada karya sastra yang lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. begitulah halnya kesusastraan Indonesia Modern. Dapat dikatakan kesustraan Indonesia modern, secara resmi, lahir dengan terbitnya sajak Indonesia Modern pertaa kali yang ditulis oleh Mohaad Yamin, berjudul Tanah Air ditulis dibogor Juli 1920, dimuat dalam majalah Jong Sumatra, No 4,th III, 1920 HLM.52).
            Karya sastra Indonesia modern itu lahir berkat pengenalan para sastrawan(uda) Indonesia terhadap kesusastraan Barat, khusunya lewat sastra Belanda. Karya sastra barat dapat dianggap sebagai karya internasional. Akan tetapi, dengan masuknya unsur internasional yang universal itu bukan berarti unsur-unsur sastra daerah hilang sama sekali, melainkan sebagai konvensinya masih dapat diteruskan.
            Selain bentuk baru dalam karya sastra Indonesia modern awal, yaitu sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sebelum perang dunia II, bentuk baru itu berupa puisi lirik yang lain dari bentuk pantun dan syair,menyimpangi konvensi bentuk syair dan pantun, dan isinya berupa pernyataan pribadi penyair yang dalam puisi laa belum ada (Teeuw, 1955:72).
4.Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman Novel Indonesia Modern
            Ada bermacam-macam cara pengisahan cerita. Pusat pengisahan ini merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan. Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang bercerita” (saad. 1967: 125).
            Pada periode Balai Pustaka, kebanyakan roman mepergunakan pusat pengisahan metode orang ketiga, khususnya dapat digolongkan metode orang ketiga roantik-ironik yang sesuai dengan orientasi sastranya yang pragmatik. Roman yang emperhunakan metode orang pertaa hanyalah sedikit yaitu percobaan setia karya Suman HS, Di Bawah Lindungan Kabbah karya Hamka.
            Karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk dalamnya karya sastra. dalam hubungan ini, Atheis karya Achidiat Kartamiharja dapat disebut sebagai karya sastra yang mentransformasikan Di Bawah Lindunga Kabbah (DLK) sebagai hiprogamnya. Dalam hal ini yang ditransforasikan adalah struktur penceritaanya yang berupa alurnya dan juga pusat pengisahannya.transformasi adalah suatu pemindahan dari karya sastra yang lain, yang pada hakikatnya sama , tetapi dalam bentuk yang lain. Pusat pengisahan erat hubungannya dengan alur, dan sebaliknya. Jal ini tmpak dalam struktur DLK maupun ATHEIS , tinjauan dipusatkan pada pusat pengisajannya.
            Rupanya teknik pengisahan dan alur sorot balik DLK dan ATHEIS masih diteruskan, yaitu dianggap dan ditransformasikan oleh novel lain karena pengisajan dan strukturnya sangat menarik.
            Pusat Pengisahan Gairah untuk Hidup dan Mati (GHM) novel Nasjah Djamin merupakan transformasi DLK maupun Atheis sebagai ipogramnya. Struktur cerita GHM seperti struktur cerita DLK dan Atheis, terdiri atas tiga bagian. Bagian I merupakan peristiwa-peristiwa akhir bagian II peristiwa awal, dan bagian III penyelesaian bagian II. Akan tetapi, bagian I GHM lain dari DLK dan Atheis. Meskipun bagian I merupakan peristiwa sesudah bagian II, tetapi terjadi sebelum bagian III.
            Pusat Pengisahan pada Sebuah Kapal (PSK) novel N.H Dini menunjukan perkembangan pusat pengisahan metode orang pertama yang lain dari DLK, Atheis, dan GHM. Dalam PSK ini ada dua aku sertaan seperti halnya DLK, aku Hamid dan Zaenab. Dalam PSK ini dipergunakan meode Aku sertaan Sri, penari, dan Aku sertaan Michel, pelaut, yang masing-masing adlah tokoh utama dalam cerita yang dikisahkannya sendiri-sendiri.
            Terjadinya alur ulangan ini disebabkan oleh penekanan temannya, yaitu bahwa tokoh itu mengalami kekecewaan karena tidak mendapatkan cinta yang diharapkan di rumah. Oleh karena itu, orang akan mencari cinta diluar rumah, baik dia seorang perempuan maupun seorang laki-aki. Tema itu dijelmakan dalam cerita Sri dan dieprtegas dalam cerita Michel.
            Pusat  Pengisahan Raumanen dalam novel Marianne katoppo i]ni dipergunakan pusat pengisahan campuran, metode orang pertama sertaan dan metode orang ketiga seperti Atheis. Akan tetapi, ada perkembangan dua metode itu. Hal ini disebabkan oleh adannya “dua” alur atau bagian cerita. Disini dipergunakan alur sorot balik yang terdiri dari dua bagian. Bagian kedua merupakan sorot balik atau kilas balik sesudah bagian pertama. Peristiwa bagian pertama merupakan peristiwa ssudah bagian kedua, kemudian diselang-seling peristiwa bagian kedua dan bagian pertama sepanjang buku (cerita) itu.
            Pusat Pengisahan Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya menggunakan campuran kisahan metode orang pertama dan metode orang ketiga Atheis. Tekniknya mirip Raumanen, kedua metode itu diselang-seling. Hanya saja, cerita yang ditandai adalah cerita alam hidup, cerita tokoh utama dan cerita tokoh kedua diselang-seling. Cerita tokoh utamanya ditandai dengan metode orang pertama sertaan, yaitu kisah Teto. Cerita tokoh kedua ditandai dengan metode orang ketiga, yaitu cerita Atiek dan cerita tokoh-tokoh yang lain atau peristiwa-peristiwa yang lain yang tidak menyangkut Teto maupun Atiek. Bila Atiek bertemu dengan Teto maka cerita itu dikisahkan Teto dengan metode orang pertama sertaan. Begitulah pengaluran dan metode kisahan orang pertama dan orang ketiga itu.
            Pusat Pengisahan Olengka novel Budi Darma menunjukan metode pusat pengisahan yang baru, yang merupakan perkembangan teknik pusat pengisahan novel-novel sebelumya yang telah dibicarakan. Tekniknya sedikit mirip dengan metode pusat pengisahan bagian akhir GHM, yaitu peristiwa pertemuan antara Talib dengan Masako di bar yang merupakan cerita mereka berdua meskipun membicarakan fuyuko.
            Pusat Pengisahan Pata Priyayi 1992 novel Umar Kayam merupakan perkembangan terakhir dalam hal pusat pengisahan metode orang pertama. “ uniknya” semua tokoh dalamnya menceritakan dirinyna sendiri dan pengalamannya dengan metode orang pertama sertaan. Uniknya lagi tiap-tiap cerita tokoh itu selalu bersambungan secara progresif, dalam arti kisah tokoh yang beraku merupakan lanjutan kisah tokoh sebelumnya secara kronologis berurutan. Waktunya antara awal tahun 1900-an sampai tahun 1967.
            Kesimpulan dari uraian tersebut, tampaklah ada perkembangan yang khas dalam pusat pengisaahan metode orang pertama. Entah sadar atau tidak, para sastrawan menanggapi roman-roman dan novel sebelumnya, mentransformasikan kdalam karya-karyanya sendiri. Dengan demikian, terjadilah persambungan dalam sejarah sastra indonesia modern, akan lebih mengetrilah pembaca bila menghubungkan karya sastra yang satu dengan yang lainya, karya sastra sebelumnya dan sesudahnya.
5.Kritik Sastra Indonesia dan Permasalahannya
           Pada kritik sastra ini terdapat sebuah prinsip-prinsip sastra yang merupakam salah satu studi sastra yang meliputi tiga bidang yaitu: teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. Kritik sastra indonesia modern selalu diiringi masalah, baik yang praktis maupun yang teoretis. Masalah kritik sastra itu meliputi hal-hal disekitar kurangnya tempat, kurangnya kritikus sastra , tidak cocoknya pandangan kritikus dengan para sastrawan, tidak cocoknya teori kritik sebagai landasan kriitk dengan corak dan wujud kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional, pertentangan antara kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik, dan sebagainya.
            Atas membanjirnya teori sastra dan kritik sastra yang baru dari barat ini, kemudian timbul reaksi dan para sastrawan, terutama pelopornya Subagyo Sastrowardojo. Ia seorangn tokoh penyair, kritikus sastra berasal dari kalangan akademik, tetapi corak atau (tipe) kritiknya ekspresif yang merupakan ciri khas kritik sastrawan. Subagyo memberikan reaksi bahwa penggunaan (pengambilan) teori kritik dari barat begitu saja diterapkan dalam mengkritik karya satsra Indonesia itu tidak tepat. Hal ini disebabkan oleh teori kritik sastra barat itu berdasarkan sasta barat yang mempunyai latarbelakang sosial budaya itu sendiri yang berlainan dengan latar sosial budaya kesusatraan Indonesia. Disamping itu, kritik sastra barat yang baru itu sering kali ddasarkan pada sebuah karya sastra tertentu seorang sastrawan tertentu hingga teori dan metodr kritiknya tidak dapat begitu saja diterapkan dalam mengkritik karya sastra Indonesia. Begitu pula, kritik sastra baru itu bercorak (bertipe) objektif yang menghapuskan pengarang dari teks, padahal pikiran-pikiran dal;am karya sastra itu pekiran pengarang sendiri. Dengan kritik objektif itu karya satra hanya menjadi kumpulan kata (leksia) dan pribadi pengarang menjadi terhapus sama sekali ! reaksi Subagyo itu dikemukakan dalam makalahnya berjudul “ Kesimpulan-Kesimpulan dari Pengalam Menulis” (1984) dan “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri” (1988)
            Demikianlah prinsip kritik sastra, corak kritik sastra Indonesia modern, dan permasalahanya secara garis besar.
6.Konkretisasi Sastra
          Karya satra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik (Teeuw, 1984:191) . bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggala manusia purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Istilah pemberian makna disebut kretisasi
            Salah satu kegiatan kritik sastra adalah pemberian makna atau penangkapan maksa karya sastra. dengan demikian karya sastra dapat dipahami dan dapat dinilai setepatnya. Karya sastra sebagai artefak tidak mempunyai makna tanpa diberi makna oleh pembaca. Disini faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna pada waktu sekarang.
            Berdasarkan hal tersebut, maka dapat menangkap makna atau memberi makna karya sastra, pastilah diberikan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra. pertama kali, karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa. Bahasa sebagai medium tidaklah netral, dalam arti sebelum menjadi unsur sastra, bahasa sudah mempunyai arti sendiri. Bahasa merupakan sebuah sistem semiotik (ketanndaan) tingkat pertama, yang sudah mepunyai arti (meani). Dalam karya sastra arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna significance sebagai sistem tanda tingkat.
            Dari uraian diatas teranglah bahwa konkretisasi karya sastra sangat diperlukan bermacam-macam usaha untuk dapat memberikan makna sepenuh-penuhnya kepada karya sastra. usaha-usaha tersebut saling membantu, tidak dapat dilakukan secara terpisah untuk mendapat hasil yang maksimal.
7.Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik
          Untuk penelitian sastra dengan menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian mengenai metodenya. Dalam hal itu, teori yang dipergunaan sebagai pendekatan sastra adalah semiotik. Jadi, haruslah dimengerti apakah semiotik itu dan seluk beluk serta metodenya.
            Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Dikemukakan Junus (1981;17) bahwa semiotik merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme itu tidak apat dipisahkan dengan semiotik. Alasannyna adalah karya sastra itu merupakan srtuktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, dan maknanya dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal.
            Sistematika pembicaraannya kurang lebih sebagai berikut: pembicaraan dimulai dengan 1. Pengertian semiotik
2.      Tanda: penanda an petanda
3.      Bahasa dan sastra (kesusastraan)
4.      Metode semiotik dalam penelitian sastra
5.      Konveksi ketaklangsungan ekspresi
6.      Penunjukan teks ke teks lain: hubungan intertekstual
7.      Pembacaan semiotik heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.

a.      Pengertian Semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik ada dua orang yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914)
b.      Tanda: Penanda dan Petanda
Semiotik adlah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai aspek yaitu petanda (signifier) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adlah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: ‘orang yang melahirkan kita’.
c.       Bahasa dan Sastra (kesusastraan)
Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi tambahan itu. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti bahan atau konotasinya.
d.      Metode Semiotik dalam Penelitian
Dikemukakan Preminger dkk (1974:981) bahwa penerangan semiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis.
e.      Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi tu dahulu hingga sekarang selalu berubah karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke periode.
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.
f.        Penunjukan Teks ke Teks Lain : Hubungan Intertekstual
Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra itu merupakan sebuah response pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Pleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain.
g.      Pembacaan Semiotik: Heuristik dan Hermeneutik atau Retrokatif
Untuk dapat memberi makna ajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978: 5-6)
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya.

8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik
            Teori struktural dan semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra (kritik sastra) yang terbaru di samping teoriestetika resepsi dan dkonstruksi. Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia. Kritik sastra di Indonesia masih menggunakan teori-teori sastra yang lama, yang sudah ketinggalan daam perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini dicoba untuk menerapkan teori tersebut dalam mengalisis sajak indonesia untuk turut memperkembangkan studi sastra dalam kesusastran indonesia modern.
Analisis Struktral dan Semiotik
            Menganalisis sastra adlah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya sastra  (puisi). Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.
Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
            Analisis struktural yang digunakan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik(Teeuw. 1983: 82). Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif tinjauannya sinkronis yang tak sepenuhnya dapat menangkap relevansi eksistensial (rangka sosial-budaya) dan makna historis. Di muka telah dikemukakan bahwa sastra (puisi) itu merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang mempergunakan medium bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama. Jadi, di dalamnya ada konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi tambahan ( maksudnya tambahan di luar konvensi bahasa) oleh preminger (1974: 981)
Hubungan Intertekstual
            Untuk mendapatkan makna sepenuhnya sebuah sajak, selain sajak harus diinsyafi ciri khasnya sebagai tanda, sign, tidak boleh pula dilupakan hubungan sejarahnya, baik dengan  keseluruhan sajak-sajak penyair sendiri, sajak-sajak sezamannya, maupun dengan sajak-sajak sastra zaman sebelummya. Karya sastra (puisi) ditulis tidak dalam situasi kekosongan budaya (sastra) . sajak diiutlis dalam hubungannya dengan zaman penyair menulis, maupun dalam pertentangan dengan sajak-sajak zaman sebelumnya.
9.Hubungan Intertekstual dlam Sastra Indonesia
            Pengertian mengenai hubungan intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah diketahui bagaimana wujud kritik sastra dan perdebatannya sepanjang sejarah kritik sastra. maka dlam tulisan ini pertma akali diuraikan menganai wujud kritik dan perdebatannya itu namun, karena yang penting dalam pembicaraan mengenai intertekstualitas sendiri, mak wujud kritik sastra dan perdebatan-perdebatannya hanya diuraikan mengenai yang perlu-perlu saja, secara garis besarnya dan secara ringkas.  
Orientasi Sastra
            Dalam bidang kritik sastra ada bermacam-macam orientasi atau pendekatan terhadap karya sastra. Abrams (1979:6-29;1981: 36-7) mengemukakan bahwa bermacam-macam pendekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam, pembaca, pengarang, dan karya sastra, yaitu mimetik menganggap karya sastra itu merupakan tiruan dari alam atau kehidupan atau dunia ide; pendekatan ekspresif menganggap karya sastra itu sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarang; pendekatan pragmatik menganggap karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu kepada (bagi) pembaca; dan pendekatan objektif karya sastra itu sebagai sesuatu yang otonom, yang berdiri sendiri, sesuatu yang mencukupi dirinya. Keempat pendekatan itu sepanjang sejarahnnya telah mengalami perdebatan-perdebatan dan dialektika yang tidak ada henti-hentinyna hingga sekarang.
            Karya sastra merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang menggunakan sistem tanda tingkat pertama ke bentuk sebuah struktur yang tingkat lebih tinggi. Dengan demikian, aada konvensi-konvensi tertentu yang harus diperhatikan oleh pembaca (kritikus) dalam memberikan mana kepada karya sastra yang dibaca dan dikritiknya.
Hubungan Intertekstual
            Dalam menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna kepada unsur-unsur  karya sastra dan keseluruhan karya sastra. pemberian makna ini berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra yang khusus disebut Preminger dkk (1974: 981) sebagai konvensi tmbahan, di samping konvensi bahasa yang menjadi mediumnya.
            Untuk mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budaya dalam hubungan pembicaraan intertekstualitas ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya.
            Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya (Teeuw, 1980: 11), termasuk dalamnya situasi sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada, disamping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicita menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12)
            Dalam kesusastraan Indonesia modern pun dapat  kita jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa maupun puisi.
Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia
Hubungan intertekstual dalam karya sastra prosa Indonesia modern, misalnya dapt dilihat antara Di Baawah Lindungan Kabbah (DLK) karya Hamka dengan Atheis dan Gairah untuk hidup dan untuk mati karya Nasijah Djamin (GHM)
Tampak adanya hubungan intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM terutama mengenai strktur cerita (alur) dan pusat pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri. Ketiganya berstruktur terdiri dari tiga bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang pertama digabungkan dengan metode orang ketiga.
Hubungan Intertekstual dalam Puisi Indonesia Modern
            Intertekstual puisi sastra Indonesia modern dapat dilihat misalnya antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Begitu juga sajak-sajak Chairil Anwar dengan sajak-sajak para penyair sesudahnya. Intertekstual sajak-sajak Amir Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya menunjukan adanya hubungan pertentangan. Sajak-sajak Chairil Anwar merupakan pertentangan terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru (dan sajak lama) yang tampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah. Adapun intertekstualitas antara sajak-sajak Chairil Anwarv dengan sajak-sajak para penynair sesudahnya merupakan hubungan persamaan, para pennyair sesudahnya meneruskan gaya sajak dan ide Charil Anwar.
            Dalam hal gaya ekspresi, Chairil Anwar menggunakan gaya semacam imagisme, yaitu gaya yang menemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau imaji-imaji. Dengan demikian kata-kata dan kalimatnya ambigu, bertafsir ganda, Amir Hamzah mepergunakan citra-citra juga, tetap tidak untuk mengemukakan pengertian, melainkan mengkonkretkan tanggapan.
10. Hubungan Intertekstual Roman-roan Balai Pustaka dan Pujangga Baru
            Hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra penting untuk diteliti dalam studi sastra, baik dalam bidang kritik maupun sejarah sastra. hal ini penting untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra untuk memudahkan pemahamannya, baik pemahaan teks maupun akna dan posisi kesejarahannya.
            Dalam penyesunan sejarah sastra, periodisasi merupakan salah satu prinsipnya, periodisasi adalah pembabakan waktu atau perios-periosde sasian waktu yang dikuasai oleh siste norma-norma sastra dan konvensi-konvensi sastra yang munculnya, meluasnya, keberbagiannya, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek dan Werren, 1968: 265)
            Jadi, dalam hubungan sejarah antarteks itu perlu diperhatikan prinsip interlekstualitas. Sebuah karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra ini. Teks sastra yang menjadi latar penciptaan karya sastra lain oleh Riffatere (1978:11,23) disebut hipogram.
Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka
            Roman Indonesia  yang diterbitkan pertaa kali aleh Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregarpada tahun 1921. Hal ini mengingat bahwa Azab dan Sengsara merupakan roan berbahasa Indoenesia (melayu) yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka, disamping itu, karena ditulis oleh orang Indonesia dengan bahasa Indonesia, tentulah lebih diakrabi oleh penulis-penulis Indonesia sesudahnya bila dibandingkan dengan roman-roan Hindia Belanda. Setidak-tidaknya Azab dan Semgsara enimbulkan motivasi lebih kuat untuk menulis roman bermasalahkan adat kawin paksa.
Catatan Penutup
             Di depan pembicaraan hubungan intertekstual hanya mengenai karya sastra prosa saja dan roan sebelum perang dunia II. Sesungguhnya dalam kesusastraan Indonesia selalu ada persambungan tradisi dan konvensi, seperti dalam salah satu tulisan saya (pradopo, 1985) saya tunjukan adnaya hubungan intertekstual antara sajak Amir Hamzah sebagai hipogranya. Dengan sajak-sajak Chairil Anwar yang enyerap dan mentransformasikannya. Begitu juga dalam tulisan itu telah saya tnjukkan adanya hubungan intertekstual antara novel-novel tiga periode, yaitu antara Di Bawah Lindungan Kabbah sebagai hipogramnya, Atheis, Gairah untuk Hidup, Gairah untuk Mati karya Nasjah Djamin, yang keduannya menyerap dan mentransformasikan struktur novel yang pertama.
11. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya
            Yang dimaksud  dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pemmbaca terhadap karya sastra.
            Dari dulu sapai sekarang karya sastra itu selalu mendapat tanggapan-tanggapan pembaca, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama atau secara masal.
            Meskipun demikian, perhatian atas peranan pembaca terhadap pemberian makna karya sastra itu baru saja, yaitu baru sesudah Hans Robert Jauss, seorang maha guru sastra Universitas Konstanz di Jerman Barat, membawakan pendapatnya dala sebuah artikel yang terkenal pada akhir tahun 1969 dengan judul Literaturgeschichte als provokation (sejarah sastra sebagai tanggapan) (segers, 1980:9, 11). Sebelumnya orang menitikberatkan perhatian pada karya sastra, pengarang, ataupun hubungan antara karya sastra dengan alam.
Orientasi Terhadap Karya Sastra
            Pada dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada empat macam seperti yang digambarkan oleh Abrams (1976:6) :
1.      Karya sastra itu merupakan tiruan alam atau penggambaran alam
2.      Karya astra itu merupakan alat atau sarana untuk encapai tujuan tertentu pada pembacanya
3.      Karya sastra merupakan pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawan
4.      Karya sastra iu merupakan sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya.
Dasar-dasar Teori Estetika Resepsi
·         Cakrawala harapan dan tempat terbuka
·         Metode estetika resepsi
·         Penelitian estetika resepsi naskah tulisan tangan sastra lama
·         Penelitian estetika resepsi pada karya sastra modern
12. Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar
          Chairil Anwar dianggap penyair yang terpenting dala kesusastraan Indonesia modern, pastilah disebabkan oleh sajak-sajaknya yang merupakan sajak yang inovatif. Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 oleh para sastrawan sezamannya dan oleh para kritikus sastra
            Sebagai penyair yang sangat penting karena sajak-sajaknya maka dari waktu ke waktu sajak-sajaknya selalu mendapat tanggapan atau persepsi para pembaca sastra, termasuk para kritikus. Tanggapan tersebut beracam-aca berdasarkan horizon harapan masing-masing pembaca ataupun horizon harapan pembaca pada tiap produk.
            Resepsi terhadap karya sastra itu dapat berupa pemberian komentar baik lisan maupun tertulis, pembacaan sajak, ataupun pentransformasian gaya ataupun ide atau gagasannya.
            Sebagai salah satu tindakan resepsi, dala tulisan ini dibahas sajak-sajak di antara sajak-sajak tersebut diatas.
Kerangka Teori dan Metode Estetika Resepsi
            Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut estetika resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 1986: 182). Dari waktu ke waktu karya sastra, lebih-lebih karya sastra yang penting, selalu mendapatkan tanggapan para pembaca. Tiap pembaca berbeda dalam enanggapi sebuah atau sekumpulan karya sastra. karya sastra selalu meberikan wajah yang berbeda kepada pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu memberikan orkestrasi yang berbeda (Jauss, 1974: 14).
            Perbedaan pembacaan karya sastra seorang pembaca dengan pembaca yang lain, dan dari suatu periode ke periode yang lain itu disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Pertaa prinsip Horizon harapan, dan kedua Tempat terbuka.
            Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelu embacanya. Pembaca sudah mempunyai “wujud” karya sastra dalam dirinya. Kalau wujud harapannya kemudian sesuai dengan wujud harapan dala karya sastra yang dibacanya, maka ia akan mudah menerianya. Akan tetapi, kalau tidak sama wujudnya harapannya, maka ia akan mmereaksiknya, baik dengan antusias atau sikap menolaknya.
            Di saping horizon harapan yang menyebabkan perbeaan pembacaan dan pemaknaan terhadap sebuah karya sastra, maka tempat terbuka (Leerstelle) dalam karya sastra itu sendiri yang menyebabkan perbedaan tanggapan. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang engandung kemungkinan banyak tafsir. Misalnya dipergunakan kiasan-kiasan seperti metafora dan metonimi; begitu juga. Digunakan gaya yang segestif, tidak melukiskan sesuatu secara detail (renik), hanya yang pokok-pokok saja; begitu juga dipergunakan bentuk visual: tipografi, sajak, homologues, ataupun enjambement. Semuanya itu emberikan kemungkinan banyak tafsir.
Resepsi terhadap Beberapa Sajak Chairil Anwar
            Sajak terbitnya sapai sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi yang positif aupun negatif, yang disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda.
            Dikemukakan Jassin bahwa Chairil Anwar melancarkan serangan terhadap bentuk sajak lama. Termasuk sajak Pujangga Baru. Dikemukakan contoh-contoh sajak baru adalah sajak-sajaknya sendiri yang revolusioner bentuk dan isi, sajak-sajak yang “meledak-ledak”, melambung ke ketinggiaan menggaangkan dan menerjunkan ke dalamnya menghimpit mengerikan. Dikemukakan Jassin (1962: 78) dalamnya kelihatan jiwa memberontak, terhadap sekeliling.
            Dikemukakannya (Alisjahbana, 1977:139-180) dalam essainya yang berjudul “Penilaian chairil anwar kembali”, Chairil Anwar embawa suasana, gaya, rite, tempo, nafas, kepakatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia (1977: 175). Karena penilaian Alisjahbana pragmatis, yang enghendaki karya sastra berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesiistis dan berisi peberontakan itu  diupaakan engeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari kehidupan masyarakat (1977:175). Jadi, tampaklah takdir Alisjahbana kurang menghargai sajak-sajak Chairil Anwar, lebih-lebih dalam hal isi atau ide yang dikemukakannya. Ia terbatas enghargai pada struktur estetiknya.
Kesimpulan
            Sajak-sajak Chairil Anwar sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan atau resepsi. Resepsi itu berupa penilaian dengan kriteria estetik maupun ekstra estetik. Ada penanggap yang menghargai secara positif ada yang secara negatif. Akan tetapi, pada umumnya secara estetis para penanggap enilai karya sastra Chairil Anwar bernilai. Hal ini didasarkan pada ideologi yang dianut oleh para penanggap, lebih tepat lagi didasarkan pada horizon harapan masing-masing penanggap atau persepsi.
13. Tanggapan Pebaca Terhadap Belenggu
            Struktur karya sastra itu dinamis melalui tanggapan pembacanya dari waktu ke waktu. Dari waktu ke waktu karya sastra mendapat tanggapan pembaca. Tiap pembaca berbeda dala enanggapinya. Elalui tanggapan pembaca dari waktu ke waktu ini, akna karya sastra dapat lebih terungkap dan nilai sastranya pun dapat ditentukan dengan lebih baik. Karya sastrra selalu meberikan wajah yang lain kepada pembaca yang lain, selalu emberikan wajah yang lain kepada pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu memberikan orkestrasi yang berbeda (Jauss, 1974:14)
            Apresiasi karya sastra suatu periode akan ditentukan oleh generasi sesudahnya, dan seterusnya. Oleh karena itu, makna suatu karya sastra akan selalu diperkaya. Tanggapan karya sastra dari seorang ke seorang, dari periode ke periode selalu berbeda disebabkan oleh horizon harapannya.
            Disaping itu dalam karya sastra ada tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yanga mempunyai kegandaan tafsir (polyinterpretability). Karya sastra tidak memnerangjelaskan suatu hal secara menyaran atau sugestif. Dalam mengisi tempat-tempat terbuka ini antara seorang dengan yang lain berbeda disebabkan oleh horizon harapannya yang berbeda tersedut.
            Begitulah, belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan yang berbeda, bahkan juga pada waktu terbitnya. Tanggapan para pembaca belenggu dari sajak terbitnyna hingga sekarang (1990) sebagai uraian berikut.
            Pada waktu naskah belenggu dikirimkan ke Balai Pustaka, naskah ditolak untuk diterbitkan. Penolakan ini disebabkan oleh sifatnya yang bertentangan dengan aturab atau syarat-syarat Balai Pustaka pada waktu itu, yaitu semua karangan yang hendak diterbitkan Balai Pustaka harus tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan pemerintah Hindia Belanda. Jadi, tampak di situ kriteria yang dapat digolongkan kriteria pragmatik. Gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Tini, Yah yang tidak memberi contoh kepada masyarakat (pembaca) itu dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum intelek hidup tidak rukun, dokter Kartono yang mempunyai simpanan, lebih-lebh Yah adalah perempuan yang tidak baik (wanita malam). Hal ini pastilah memalukan dan menimbulkan “keguncangan” kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
            Dikemukakannya Belenggu dan Layar Terkembang. Dikemukakannya (him, 125-126) bahwa karena ideologi modernise universal yang sangat menjiwai pandangan dunianya, dunia yang direka Takdir dan Layar Terkembang adalah suatu replika ideologi yang sangat diinginkannya untuk hadir dan berlaku di negeri in. Oleh karena itu, model dunia yang diciptakannya nynaris merupakan suatu model seorang ahli ilmu sosial daripada seorang penulis sastra. sebaliknya. Belenggu, Armijin Pane tidak tampil sebagai seorang ideologos ethos modernisme, melainkans sebagai pengamat sosial yang dingin yang mampu mengambil jarak dari lingkungan dunia rekaannya. Dalam roman ini Armijin Pane ingin memahami dan menjelaskan kerumitan perbenturan antara nilai-nilai kelas menengah borjuasi Barat yang sedang mulai berjalan di Indonesia. Oleh karena itu, Armijin mereka suatu dunia kehidupan yang rumit, yang didalamnya para tokohnya terlibat dan berada dalam keterombangambingan, kebengingungan dalam mengambil sikap dan keputusan. Sebagai akibat dari belenggu nilai-nilai lama yang ternyata masih kuat berakar dalam masyarakat. Penutupnyna pun tidak menjanjikan suatu penyesalan dengan menyatakan “pintu itu hendak ke mana ?” (Kayam, 1988: 126). Begitu pula, bahasa yang dipilihnya adalah suatu bahasa yang cermat dibangun untuk menjelaskan model dunia kehidupan yang gagap, bingung, tidak pasti. Begitu dingin dan lugas pemilihan bahasanya sehingga seringkali memberikan kesan sebagai bahasa yang nyaris baru diciptakan. Berlainan halnya dengan Layar Terkembang yang merupakan sutau roman esai/esaistik yang merupakan wahana untuk menynampaikan pesan atau ideologi; Belenggu adalah roman sewajarnya, bukan wahana pesan, melainkan berjalan dengan sendirinya menjelaskan suatu fenomena sosial yang berupa perbenturan nilai. Tidak seperti takdir berpandangan bahwa hidup adalah sesuatu yang dijelang dengan semangat keja yang bernynala-nynala, Armijn Pane menduduki dirinya sebagai pengamat kehidupan yang baginya nampak rumit. Ia ingin menjelaskan kerumitan dari kerumitan itu, dan menyerahkan kesimpulan dari persepsi tulisannya kepada pembacanya (Kayam, 1988: 127).
            Dikemukakannya bahwa pada hakikatnya Atheis meneruskan tradisi Belengu. Achidiat pun mencoba memahami kompleksitas perbenturan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern. Apabila dalam Belenggu Armijn Pane melihat perbenturan itu adalah antara nilai-nilai birokrasi, priyayi, dengan nilai-nilai kelas menengah Barat. Dalam Atheis perbenturan itu antara nilai-nilai kelas menengah elit birokrasi, menak priyayi, dan antara kedua kelompok sistem nilai itu (Kayam, 1988: 127). Dari sudut pilihan bahasanya, menciptakan suatu bahasa baru yang sesuai dan secara estetis relevan dengan usaha untuk menjelaskan kerumitan dunia alternatif yang ditawarkan (1988: 128)
            Dari uraian tersebut secara tidak langsung Umar Kayam memebrikan penilaian positif kepada Belenggu. Menilainya sebagai karya yang bermutu seni tinggi.

            Dari apresiasi pertama sejak lahirnya tampaklah bahwa sampai pada apresiasi terakhir selalu menunjukan nilai Belenggu yang kian bertambah sebagai karya sastra yang berbobot. Hal ini disebabkan oleh apresiasi yang semakin meningkat sehingga dapat meamhami atau memberi makna Belenggu lebih lengkap. Para pembaca kian dapat menemukan keunikannya sebagai karya berbobot berkat peningkatan pengetahuannya dalam teori dan kritik sastra. tampaklah seperti apa yang dikemukakan Jauss (1974: 12-13) bahwa apresiasi pembaca pertama terhadap karya sastra akan dilaanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari generasi ke generasi. Begitulah apresiasi terhadap Belenggu yang selalu bertambah dan diperkaya itu sehingga dapat dikonkretisasikan dengan lebih baik. Secara penuh dan menyeluruh.