Wednesday, April 30, 2014
Monday, April 28, 2014
coret-coretanku 11 maret 2014
aku terbangun dalam lelapku malam ini
ku lihat sebuah rangkaian kata yang indah tuk dinikmati
hatiku tertegun ketika melihat sosok itu
sosok yang merangkai kata-kata di hari jadiku ini
hari dimana aku terlahir...
di dunia ini :)
yang telah mengajarkanku tentang hidup
aku bertahan hidup untuk menyeongsong esok
esok yangn lebih baik
lebih barokah
lebih mudah diberikan jalan oleh-Nya
ku lihat sebuah rangkaian kata yang indah tuk dinikmati
hatiku tertegun ketika melihat sosok itu
sosok yang merangkai kata-kata di hari jadiku ini
hari dimana aku terlahir...
di dunia ini :)
yang telah mengajarkanku tentang hidup
aku bertahan hidup untuk menyeongsong esok
esok yangn lebih baik
lebih barokah
lebih mudah diberikan jalan oleh-Nya
Friday, April 25, 2014
Dimana ???
ku intip matahari dari sela-sela jendela
Tebarkan senyuman bagai bunga yang mekar
Cahayanya terang...
Seterang rembulan
Senyumnya manis
Semanis arumanis
Tapi, keindahan itu hilang
Ketika ombak datang menerjang
Kini, iman tak menjadi penghalang
Kau makan semua yang dihidangkan
Bahkan kau mulai kekurangan
Hingga... milik mereka pun kau habiskan
Dimana hatimu ?
Dimana rasa ibamu ? dan
Dimana rasa malumu ?
Sungguh teganya dirimu
Mana janjimu
Ditangan ini
Ku pegang hasrat yang mencuap
Dengan segala fatamorgana tahta
Ku lirik... ku pandang... dan
Ku hujat... hingga kau merasakannya
Tapi, kini kau terbias dengan keindahan dunia
Ucapanmu sekadar kata yang terucap
Bahkan kau lupa dengan apa yang kau ucap
Kau hanya mengumpat
Seperti tikus yang akan tertangkap
Sunday, March 30, 2014
Teori Struktural Vladimir Propp
Selintas tentang Teori Struktural Vladimir Propp
Propp --lengkapnya Vladimir Jakovlevic Propp, lahir 17 April 1895 di St. Petersburg, Jerman-- adalah seorang peneliti sastra yang pada masa 1920-an banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Formalis Rusia. Meskipun banyak berkenalan dengan kaum formalis, Propp bukanlah seorang formalis (bdk. Eagleton, 1988:115; Jefferson, 1988:54). Dikatakan demikian karena ketika Formalisme Rusia sedang mangalami krisis (menjelang tahun 1930), ia justru memunculkan semacam poetika baru dalam hal pengkajian dan penelitian sastra. Hal itu dapat dibuktikan melalui buku Morphology of the Folktale (1975).
Dapat dikatakan bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-teori yang berkembang sebelumnya. Propp (1975:3--18) berpendapat bahwa para peneliti sebelumnya banyak melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih. Selain itu, sedikit banyak teori Propp juga mendekonstruksi teori formalis. Kalau Formalisme menekankan perhatiannya pada penyimpangan (deviation) melalui unsur naratif fabula dan suzjet dalam karya-karya individual untuk mencapai nilai kesastraan (literariness) sastra, Propp lebih menitikberatkan perhatiannya pada motif naratif yang terpenting, yaitu tindakan atau perbuatan (action), yang selanjutnya disebut fungsi (function).
Propp menyadari bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita (lihat juga: Junus, 1983:63). Ia melihat bahwa tiga unsur itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap. Sebagai contoh, yang terpenting di dalam konstruksi "raksasa menculik seorang gadis" adalah perbuatan atau tindakannya, yaitu "menculik", karena tindakan itu dapat membentuk satu fungsi tertentu dalam cerita. Seandainya tindakan itu diganti dengan tindakan lain, fungsinya akan berubah. Tidak demikian jika yang diganti adalah unsur pelaku atau penderita. Penggantian unsur pelaku dan penderita tidak mempengaruhi fungsi perbuatan dalam suatu konstruksi tertentu. Dilihat dari contoh tersebut, jelas bahwa teori Propp diilhami oleh strukturalisme dalam ilmu bahasa (linguistik) sebagaimana dikembangkan oleh Saussure (bdk. Selden, 1991:59).
Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia, yang disebutnya fairytale, Propp (1975:21--24) akhirnya memperoleh simpulan (1) anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, (2) jumlah fungsi dalam dongeng terbatas, (3) urutan fungsi dalam dongeng selalu sama, dan (4) dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili satu tipe (lihat juga: Teeuw, 1984:291; Scholes, 1977:63). Sehubungan dengan simpulan (2), Propp menyatakan bahwa paling banyak sebuah dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun, ia juga menyatakan bahwa setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, yang membentuk kerangka pokok cerita.
Tiga puluh satu fungsi yang dimaksudkan oleh Propp adalah seperti di bawah ini. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi (barangkali, kalau kita mengganti lambang itu sesuai dengan keinginan kita, tentu juga tidak ada salahnya). Adapun fungsi-fungsi dan lambangnya sebagai berikut.
FUNGSI LAMBANG
1. Absentation 'ketiadaan' b
2. Interdiction 'larangan' ¡
3. Violation 'pelanggaran' d
4. Reconnaissance 'pengintaian' e
5. Delivery 'penyampaian (informasi)' V
6. Fraud 'penipuan (tipu daya)' h
7. Complicity 'keterlibatan' q
8. Villainy 'kejahatan' A
8a. Lack 'kekurangan (kebutuhan)' a
9. Mediation, the connective incident
'perantaraan, peristiwa penghubung' B
10. Begining counteraction 'penetralan
(tindakan) dimulai' C
11. Departure 'keberangkatan (kepergian)'
12. The first function of the donor
'fungsi pertama donor (pemberi)' D
13. The hero's reaction 'reaksi pahlawan' E
14. Provition or receipt of a magical agent
'penerimaan unsur magis (alat sakti)' F
15. Spatial translocation 'perpindahan (tempat)' G
16. Struggle 'berjuang, bertarung' H
17. Marking 'penandaan' J
18. Victory 'kemenangan' I
19. The initial misfortune or lack is liquidated
'kekurangan (kebutuhan) terpenuhi' K
20. Return 'kepulangan (kembali)' ¯
21. Pursuit, chase 'pengejaran, penyelidikan' Pr
22. Rescue 'penyelamatan' Rs
23. Unrecognised arrival 'datang tak terkenali' O
24. Unfounded claims 'tuntutan yang tak mendasar' L
25. The difficult task 'tugas sulit (berat)' M
26. Solution 'penyelesaian (tugas)' N
27. Recognition '(pahlawan) dikenali' Q
28. Exposure 'penyingkapan (tabir)' Ex
29. Transfiguration 'penjelmaan' T
30. Punishment 'hukuman (bagi penjahat)' U
31. Wedding 'perkawinan (dan naik tahta)' W
Catatan:
Fungsi-fungsi dan lambang-lambang yang dicantumkan ini hanya terbatas pada yang pokok saja; lebih lengkapnya lihat buku Propp (1975:26--65).
Menurut Propp (1975:79--80), jumlah tiga puluh satu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) villain 'lingkungan aksi penjahat', (2) donor, provider 'lingkungan aksi donor, pembekal', (3) helper 'lingkungan aksi pembantu', (4) the princess and her father 'lingkungan aksi seorang putri dan ayahnya', (5) dispatcher 'lingkungan aksi perantara (pemberangkat)', (6) hero 'lingkungan aksi pahlawan', dan (7) false hero 'lingkungan aksi pahlawan palsu' (lihat juga: Hawkes, 1978:91; Scholes, 1977:104; Schleifer, 1987:96). Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Propp --lengkapnya Vladimir Jakovlevic Propp, lahir 17 April 1895 di St. Petersburg, Jerman-- adalah seorang peneliti sastra yang pada masa 1920-an banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Formalis Rusia. Meskipun banyak berkenalan dengan kaum formalis, Propp bukanlah seorang formalis (bdk. Eagleton, 1988:115; Jefferson, 1988:54). Dikatakan demikian karena ketika Formalisme Rusia sedang mangalami krisis (menjelang tahun 1930), ia justru memunculkan semacam poetika baru dalam hal pengkajian dan penelitian sastra. Hal itu dapat dibuktikan melalui buku Morphology of the Folktale (1975).
Dapat dikatakan bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-teori yang berkembang sebelumnya. Propp (1975:3--18) berpendapat bahwa para peneliti sebelumnya banyak melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih. Selain itu, sedikit banyak teori Propp juga mendekonstruksi teori formalis. Kalau Formalisme menekankan perhatiannya pada penyimpangan (deviation) melalui unsur naratif fabula dan suzjet dalam karya-karya individual untuk mencapai nilai kesastraan (literariness) sastra, Propp lebih menitikberatkan perhatiannya pada motif naratif yang terpenting, yaitu tindakan atau perbuatan (action), yang selanjutnya disebut fungsi (function).
Propp menyadari bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif yang terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita (lihat juga: Junus, 1983:63). Ia melihat bahwa tiga unsur itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang berubah. Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap. Sebagai contoh, yang terpenting di dalam konstruksi "raksasa menculik seorang gadis" adalah perbuatan atau tindakannya, yaitu "menculik", karena tindakan itu dapat membentuk satu fungsi tertentu dalam cerita. Seandainya tindakan itu diganti dengan tindakan lain, fungsinya akan berubah. Tidak demikian jika yang diganti adalah unsur pelaku atau penderita. Penggantian unsur pelaku dan penderita tidak mempengaruhi fungsi perbuatan dalam suatu konstruksi tertentu. Dilihat dari contoh tersebut, jelas bahwa teori Propp diilhami oleh strukturalisme dalam ilmu bahasa (linguistik) sebagaimana dikembangkan oleh Saussure (bdk. Selden, 1991:59).
Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia, yang disebutnya fairytale, Propp (1975:21--24) akhirnya memperoleh simpulan (1) anasir yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, (2) jumlah fungsi dalam dongeng terbatas, (3) urutan fungsi dalam dongeng selalu sama, dan (4) dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili satu tipe (lihat juga: Teeuw, 1984:291; Scholes, 1977:63). Sehubungan dengan simpulan (2), Propp menyatakan bahwa paling banyak sebuah dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun, ia juga menyatakan bahwa setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya, yang membentuk kerangka pokok cerita.
Tiga puluh satu fungsi yang dimaksudkan oleh Propp adalah seperti di bawah ini. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp memberi tanda atau lambang khusus pada setiap fungsi (barangkali, kalau kita mengganti lambang itu sesuai dengan keinginan kita, tentu juga tidak ada salahnya). Adapun fungsi-fungsi dan lambangnya sebagai berikut.
FUNGSI LAMBANG
1. Absentation 'ketiadaan' b
2. Interdiction 'larangan' ¡
3. Violation 'pelanggaran' d
4. Reconnaissance 'pengintaian' e
5. Delivery 'penyampaian (informasi)' V
6. Fraud 'penipuan (tipu daya)' h
7. Complicity 'keterlibatan' q
8. Villainy 'kejahatan' A
8a. Lack 'kekurangan (kebutuhan)' a
9. Mediation, the connective incident
'perantaraan, peristiwa penghubung' B
10. Begining counteraction 'penetralan
(tindakan) dimulai' C
11. Departure 'keberangkatan (kepergian)'
12. The first function of the donor
'fungsi pertama donor (pemberi)' D
13. The hero's reaction 'reaksi pahlawan' E
14. Provition or receipt of a magical agent
'penerimaan unsur magis (alat sakti)' F
15. Spatial translocation 'perpindahan (tempat)' G
16. Struggle 'berjuang, bertarung' H
17. Marking 'penandaan' J
18. Victory 'kemenangan' I
19. The initial misfortune or lack is liquidated
'kekurangan (kebutuhan) terpenuhi' K
20. Return 'kepulangan (kembali)' ¯
21. Pursuit, chase 'pengejaran, penyelidikan' Pr
22. Rescue 'penyelamatan' Rs
23. Unrecognised arrival 'datang tak terkenali' O
24. Unfounded claims 'tuntutan yang tak mendasar' L
25. The difficult task 'tugas sulit (berat)' M
26. Solution 'penyelesaian (tugas)' N
27. Recognition '(pahlawan) dikenali' Q
28. Exposure 'penyingkapan (tabir)' Ex
29. Transfiguration 'penjelmaan' T
30. Punishment 'hukuman (bagi penjahat)' U
31. Wedding 'perkawinan (dan naik tahta)' W
Catatan:
Fungsi-fungsi dan lambang-lambang yang dicantumkan ini hanya terbatas pada yang pokok saja; lebih lengkapnya lihat buku Propp (1975:26--65).
Menurut Propp (1975:79--80), jumlah tiga puluh satu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara logis, yaitu (1) villain 'lingkungan aksi penjahat', (2) donor, provider 'lingkungan aksi donor, pembekal', (3) helper 'lingkungan aksi pembantu', (4) the princess and her father 'lingkungan aksi seorang putri dan ayahnya', (5) dispatcher 'lingkungan aksi perantara (pemberangkat)', (6) hero 'lingkungan aksi pahlawan', dan (7) false hero 'lingkungan aksi pahlawan palsu' (lihat juga: Hawkes, 1978:91; Scholes, 1977:104; Schleifer, 1987:96). Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.
Demikian selintas tentang teori (naratologi) struktural(is) versi Vladimir
Propp. Kendati dalam perkembangan selanjutnya Propp banyak dikecam oleh
peneliti lain, di antaranya oleh Guipen dari Belanda (Teeuw, 1984:293),
sebagian dari konsep teorinya tetap menjadi pegangan mereka dalam menemukan
cara analisis sastra yang baru. Harus diakui bahwa ternyata para ahli seperti Bremond,
Greimas, Levi-Strauss, Souriau, Todorov, bahkan juga Roland Barthes, banyak
memanfaatkan konsep yang telah dihasilkan Propp. Namun, dalam perkembangan
terakhir, Propp tidak konsekuen pada prinsipnya sendiri. Ia semula menolak
adanya pendekatan historik, tetapi kemudian ia kembali ke orientasi historik.
Hal itu dapat dibuktikan melalui bukunya Theory and History of Folklore (1984)
yang merupakan kumpulan karangan menjelang akhir hayatnya (1970).
Teori Sastra
1. Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia
Asalah
angkatan dan penulisan sejarah sastra indonesia erupakan dua persoalan dalam
satu wajah, yaitu persoalan sejarah sastra. Jadi, pertama kali akan dibahas
masalah angkatan sastra, dan yang kedua, akan dibahas masalah penulisan sejarah
sastra indonesia.
1.
Masalah
Angkatan
Sejarah sastra
merupakan salah satu cabang studi sastra yang oleh Rene Wellek (1968:39)
dipecah menjadi tiga yaitu : Teori
Sastra, Kritik sastra, Sejarah sastra. teori sastra studi sastra yang
berhubungan dengan karya sastra yang konkret, sedang sejarah sastra adalah
studi sastra yag membicarakan perkebangan sastra sejak lahirnya sampai perkembangan
yang terakhir (Pradopo, 1967:9; Wellek, 1968:255) begitu jugalah sejarah sastra
indonesia.
Pengertian
periode di sini ialah seperti yang dikemukakan oleh Wellek (1968:265) yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh
sesuatu sistem nora-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra
yang kemunculannya, pennyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya
dan diruntut.
Angkatan sastra
tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau
menempati suatu periode tertentu. Karena mereka hidup pada kurun masa yang sama
sehingga ereka mempunyai ide, gagasan yang saa atau ada kemiripannya.
Dalam studi
sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra
sendiri seperti yang dikemukakan oleh Wellwk bahwa kesusastraan jangan dikonsepsi hanya sebagai crmin pasif atau
tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan intelek manusia, sastra
hendaknya ditetapkan dengan kriteria sastra murni.
Ciri-ciri
intrinsik karya sastrayang menjadia dasar penentuan adanya sebuah angkatan
meliputi : jenis sastra(genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya
penceritaan, dan struktur karya sastra yang meliputi struktur penceritaan
(alur), penokohan, latar, sarana-sarana sastranya(literary devices) seperti : pusat
pengisahan, sibol, humor, pembayangan, suspense. Kepentingan penggolongan
angkatan dan periodisasi terutaa berguna untuk mempelajari perkembangan sastra.
2.
Penulisan
Sejarah Sastra Indonesia
Penulisan
sejarah sastra indonesia dimulai dengan lahirnya, latar belakang lahirnya, dan
sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut. Ada bermacam-macam
pendapat mengenai lahirnya kesusastraan Inodonesia, hanya saja dapat dipakai
sebagai ancar-ancar adalah pendapat atau pandangan Nugroho Notosusanto yaitu lahirnya
ekitar lahirnya nasionalitas Inonesia secara resmi sebab sesudah itu, karya
cipta sastra sudah bersifat nasional Indonesia, bahkan cipta daerah lagi.
Secara resmi diakui nasionalitas Indonesia lahir tanggal 20 Mei 1908, yaitu
berdirinya Budi Utomo, tetapi penentuan lahirnnya satra harus didasarkan juga
pada adanya karya sastra secara konkret. Kenyataannya karya sastra yang
bersifat nasional Indonesia baru ada sekitar tahun 1920. Secara sporadis antara
1908-1920 itu ada satu dua karya sastra yang bersifat nasional dengan bahasa
nasional yaitu bahasa Indonesia meskipun pengakuannya secara resmi pada tanggal
28 Oktober 1928. Jadi secara tegas lahirnya sastra Indonesia tahun 1920
meskipun itu tidak mutlak.
Penulisan
sejarah sastra Indonesia sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara. Yang
pertama dengan cara teori estetik resepsi atau estetika tanggapan. Yang kedua
dengan cara teori penyesuaian rangkaian perkembangan sastra dari periode ke
periode atau dari angkatan ke angkatan.
Di samping
itu, penulisan sejarah sastra Indonesia juga dapat dilakukan secara sinkronis
dan diakronis. Secara sinkronis ialah membicarakan (menulis) sejarah sasra
dalam salah satu tingkat perkembangannya atau salah satu periodenya, misalnya
peridoe Angkatan 45 atau periode Angkatan Pujangga Baru. Secara diakronis
membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam berbagai tingkat perkembangannya,
dari sejak lahir hingga perkembangannya yang terakhir.
2.1 Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan Sejarah Sastra
Seorang ahli sejarah sastra harus
lebih dahulu menjadi seorang pembaca bagi dirinya sendiri sebelum ia dapat
memahami dan mengklaskan sebuah karya sastra. sebuah karya sastra harus
dipahami sebagai penciptaan dialog, dan keahlian fillogi harus didasarkan pada
pembacaan kembali teks sastra secara terus menerus, bukan hanya didasarkan pada
fakta saja (jasus, 1974:14)
Jadi, adanyna konsep-konsep tentang
sastra yang berbeda ini menyebabkan perbedaan-perbedaan pemahaman dan penilaian
atas karya sastra antara seorang dengan yang lain atau antara periode dengan
periode yang lain.
Dalam kesusastraan indonesia,,
karya-karya sastra dari sejak Balai Pustaka sapai sekarang selalu mendapat
tanggapan pembaaca. Tanggapan ereka selalu berubah. Hal ini disebabkan seperti
diatas, oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep
sastra setiap periode.
Jadi, enurut teori estetika resepsi
ini, sejarah sastra itu ialah sejarah karya sastra dari periode ke periode atau
sejarah resepsi sastra dari periode ke periode.
2.2 Metode Peruntutan Perkembangan Karya Sastra
Metode peyusunan kedua adalah runutan
perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok besar atau kecil, sesuai
dengan kepengarangan atau jenis sastra, tipe gaya atau tradisi kebahasaan.
Karena itu, dalam penuyusunan sejarah
sastra diperlukan diskripsi engenai ciri-ciri sastra, sesudah diseleksi
karya-karya yang bernilai, dalam setiap periode. Maka ciri-ciri sastra itu
adlah ciri intrinsik dalam struktur karya sastra, baik mengenai gaya bahasa,
gaya cerita alur, penokohan, sarana-sarana sastra seprti pusat pengisahan,
huor, simbol, konflik, dan sebagainya, maupun perasalahan, gagasan, pemikiran,
kefilsafatan yang terdapat dalam karya sastra dalam jalinannya dengan struktur
estetiknya.
2.2.1. Periode Sastra
Indonesia
Periode H.B. Jassin, 1953 (via
Notosusanto, 1963: 199-200):
A.
Sastra
Melayu Lama
B.
Sastra
Indonesia Modern
Sastra Indonesia modern
dibagi 3 angkatan:
1.
Angkatan
20
2.
Angkatan
33 atau Pujangga Baru
3.
Angkatan
45
Karakteristik
masing-masing angkatan:
Angkatan 20 prosanya menggambarkan
1.
Pertentngan
paham antara kaum tua-muda;
2.
Soal
kawin paksa, permaduan, dll;
3.
Kebangsaan
belum maju ke depan, masih kedaerahan. Kelainan dengan sastra Melayu Lama;
4.
Bahasa
percakapan dimasukkan diantara baca tulisan;
5.
Ada
terdapat analisa jiwa;
Angkatan 33
1.
Angkatan
ini telah bebas menentukan nasibnya sendiri
2.
Persoalannya
ialah: menghadapi asyarakat kota dengan masalah kota
3.
Juga:
bagaimana menggunakan kebebasan dan bagaimana fungsi kebebasan terhadap
masyarakat
4.
Penting
adalah: persoalan kebangunan kebangsaan, jadi hasil karya mereka bercorak
kebangsaan
5.
Dalam
segala keberagaannya yang menjadi pengikat mereka adalah cita-cita nasional dan
6.
Kesamaan
dengan angkatan ’20 tendensius, didaktis
Periodisasi Boejoeng Saleh (1956: 8):
1.
Sebelum
tahun 20-an
2.
Antara
tahun 20-an hingga tahun 1933
3.
Tahun
1933 hingga mei 1942
4.
Mei
1942 hingga kini (1956)
Ø Periode balai pustaka: 1920-1944 ini berarti bahwa lahirnya angkatan Balai Pustaka seitar
tahun 1920 dan melemahnya kekuatan dan lenyapnya sekitar tahun 1940.
Karya-karya roman Balai Pustaka yang kuat diantaranya: salah pilih (1928), halubalangn raja (1934), katak hendak jadi lembu
(1935), salah asuhan (1928) dan masih ada yang lain. Kurun waktu antara
tahun-tahun itu dapat dianggap sebagai as terintegrasinya peridode angkatan
Balai Pustaka. Sesudah 1935 kekuatannya mulai melemah, namun masih terbit
karya-karya roman yang baik, yang kuat seperti Neraka Dunia, Kalau Tak Untung,
Tenggelamnya kapal Van der wijk. Sesungguhnya masih ada karya sastra dari
pengarang Balai Pustaka sesudah 1940, namun tinggal sisa-sisa saja yang tidak
berarti.
Ø Periode Pujangga Baru: 1930-1945. Sesungguhnya para sastrawan Pujangga Baru telah menulis
sajak-sajak di sekitar 1920, namun sekitar 1930 menunjukan ciri-ciri periode
atau angkatan yang kuat, seperti Indonesia Tupah Darahku (1929), Madah Kalana
(1931), Dian Yang Tak Kunjung Pada(1932). Pada tahun 1933 terbitlah majalah
Pujangga Baru jadi asa terintegrasinya antara 1933-1940. Sesudah tahun 1940
kekuatan sastra Pujangga Baru mulai melemah, dan ahirnya sekitar 1945 sudah
diganitkan peranannya oleh angkatan 1945
Ø Periode Angkatan 45: 1940-1955. Di sekitar tahun 1940 itu penulis angkatan 45 mulai menulis
karya-karya sastranya. Periode ini diisi
oleh karya-karya sastra para sastrawan yang mulai menulis pada permulaan tahun
40-an meskipun ad jug satu atau dua pengarang yang menulis pada tahun 30-an.
Asa produktif antara 1943-1953
Ø Periode Angkatan 50: 1950-1970. Dalam periode ini karya sastra adalah eurpakan tulisan pra
sastrawan yang pada umumnnya menulis awal tahun 50-an dan 60-an.
Ø Periode Angkatan 1970- 1984. Para sastrawan yang karyanya memberi corak sastra periode ini
pada umumnya sudah mulai enulis pada tahun 60-an
2.2.2 Ciri-ciri intrinsik dalam
Periode-periode Sastra Indonesia
Ciri-ciri intrinsik karya sastra yang
diuraikan meliputi dua aspek, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra
estetiknya. Ciri-ciri struktur estetik meliputi alur, penokohan, latar, pusat
pengisahan, gaya bercerita, dan gaya bahasa. Ciri-ciri estetiknya meliputi
‘‘bahan-bahan’’ kasrya sastra, seperti masalah pemikiran, filsafat, pandangan
hidup, gabaran kehidupan, bahkan juga termasuk bahasanya sendiri.
a.
Ciri-ciri
struktur estetiknya periode pujangga baru
Puisi:
1.
Puisinya
puisi baru bukan pantun dan syair lagi; ada jenis baru, yaiutu soneta berasal
dari barat; ada juga balada tetapi rupanya belu dikenal betul;
2.
Pilihan
kata-katanya diwarnai dengan kata-kata nan indah
3.
Bahasa
kiasan utama ialah perbandingan;
4.
Bentuknya
simetris. Ini pengaruh puisi lama; ada periodsiitas dari awal sampai akhir
sajak, tiap barisnya pada umunya terdiri dari dua periodus dua kata;
5.
Gaya
ekspresi aliran romantik tapak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan dala
indah, tenteram, dan sebagainya;
Prosa:
1.
Alurannya
lurus;
2.
Teknik
perwatakan sudah mulai dengan watak bulat; teknik perwatakan tidak analisis
langsung seperti roman Balai Pustaka, diskripsi fisik sedikit;
3.
Tidak
banyak digresi seperti roman Balai Pustaka, maka alurnya menjadi lebih erat;
4.
Pusat
pengisahan dengan metode orang ketiga objektif;
5.
Gayanya
romantik
b.
Ciri-ciri
Ekstrinsik/Ekstra Estetik
1.
Masalahnya
bersangkut paut dengan kehidupan masyarakat kota, misalnya masalah emansipasi,
masalah pemilihan pekerjaan, masalah individu manusia, dsb;
2.
Ide
nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mewarnai karya sastra Pujangga
Baru; dan
3.
Bersiftat
dedaktis
2.Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar
Pengantar
Sejak
lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern selalu
berkembang. Dengan demikian, hal ini membuat adanya persambungan sejarah sastra
indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang yang merupakan
sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis oleh
M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam jong sumatra No 4, Tahun III, April
1920. Sebuah karya sastra itu sesungguhnya merupakan response terhadap karya
saebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan atau
penyambutan yang bersifat penerusan konvensi maupun penyimpangan konvensi yang
telah ada.
Periodisasi Puisi Indonesia Modern
Sejarah sastra tidak lepas dari
masalah periodisasi (pembabakan masalah). Periode adalah bagian waktu yang di
kuasai oleh norma-norma sastra daan konvensi-konvensi sastra yang munculnya,
meluasnya, keberbagiannya, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek,
1968: 265). Sampai sekarang yang dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan
Indonesia modern adalah tahun 1920, akan tetapi pertama kali ditulis sajak
Indonesia modern oleh M. Yanin berjudul “Tanah Air”.
Jadi,
sesungguhnya lahirnya kesusastraan Indonesia modern itu bukan hanya ditentukan
oleh sastra prosa saja, melainkan juga ditentukan sastra puisi (Bandingkan
Rosidi, 1964: 7).
Sampai
sekarang, pembabakan waktu yang ada dalam kesusastraan Indonesia modern,
seperti dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1963:209-210) sebagai berikut:
I.
Masa
kebangkitan (1920-1945)
II.
Masa
perkembangan (1945-sekarang)
Masa perkembangan terdiri atas tiiga periode:
1.
Periode
‘20
2.
Periode’33
3.
Periode
‘42
Masa perkembangan ada dua periode
1.
Periode
’45
2.
Periode
‘50
Model periodisasi Nugroho
itu dipergunakan jugaoleh Ajib Rosidi (1969:13)
I.
Masa
kelahiran dan masa penjadian (1900-1945)
1.
Periode
awal 1933
2.
Periode
1933-1942; dan periode 1942 sampai 1945
II.
Masa
perkembangan (1945-sekarang):
1.
Periode
1945-1953
2.
Periode
1953-1961
3.
Periode
1961 sampai sekarang (1969)
Berdasarkan
ciri-cri tiap periode, pembabakan waktu puisi Indonesia modern dapat disusun
sebagai berikut.
1.
a.Periode
Pra-pujangga Baru: 1920-1933
b.Periode Pujangga Baru:
1933-1942
2. Periode Angkatan ‘45: 1942-1955
3. Periode ’50 sampai ‘60’an: 1955-1970; dan
4. Periode ’70 sampai ’80: 1970-1990
Periode Pujangga Baru (1920-1942)
Perlu diterangkan di sini bahwa periode
Pra-Pujangga baru itu merupakan awal periode puisi Pujangga Baru yang
menunjukan ciri-ciri yang tidak berbeda dengan Pujangga Baru. Dengan demikian,
dalan periodisasi puisi periode Pujangga Baru itu meliputi kurun waktu
1920-1942. Sesuai dengan pengertian periode yang dikemukakan di depan, yaitu periode 1920-1933 merupakan
timbul dan awal perkembangan suatu periode, yaitu periode Pujangga Baru dengaan
erbitnya majalah Pujangga Baru pada
bulan Juli 1933 dan seterusnya, sedang periode 1940-1942 merupakan periode
melemahnya norma puisi Pujangga Baru ( dan kemudian “lenyap”).
Pada
periode 1920-1942 berunculan penyair Indonesia modern Angkatan Pujangga Baru.
Pada waktu sekarang sebagian besar sajak mereka telah diinvetarisan oleh Badudu
dkk. Berjudul Perembangan Puisi Indonesia
Tahun 20-an hingga tahun 40-an (1984: 73-977). Dicatat 134 penyair dengan karya-karya sajaknya.
Diantaranya yang terkenal: Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana dsb.
Perioe Angkatan 45 (1942-1955)
Puisi Angkatan 45 beraliran realise yang mengutamakan
penggambaran kehidupan secara nyata. Dalamnya tergambar kehidupan sehari-hari
yang dapat dialami secara nyata.
a.
Ciri-ciri
Struktur Estetik
1.
Puisinya
puisi bebas, tidak terkait bait, jumlah baris, dan persajakan;
2.
Gaya
ekspresionistis;
3.
Aliran
dan gaya realisme;
4.
Pilihan
kata (diksi)
5.
Bahasa
kiasan
6.
Gaya
ironi dan sinisme menonjol
b.
Ciri-ciri
Ekstra Estetik
1.
Individualisme
menonjol
2.
Sajak-sajak
mengekpresikan kehidupan batin
3.
Sajak-sajak
mengemukakan masalah kemanusiaan
4.
Masalah
keasyarakatan menonjol
5.
Filsafat
eksistensialisme mulai dikenal
Periode 50-an 60-an (1955-1970)
Periode
50-an 60-an pada dasarnyna masih
meneruskan konvensi Angkatan 45. Hanya saja pada periode ini gaya pernyataannya
menjadi kurang dan berubah menjadi gaya bercerita. Berkembang puisi epik yang
terkenal dengan balada.
Puisi
angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan sekitar masalah perang, masalah
kemanusiaan menjadi menonjol dala arti, orang ingin merdeka terbedas dari
penjajahan, bebasa dari kekejaman perang yang membuat penderitaan manusia.
a.
Ciri-ciri
Struktur Estetik
1.
Gaya
antra mulai tampak dalam balada-balada
2.
Gaya
ulangan (paralelisme) mulai berkembang
3.
Gaya
puisi liris pada umumnya masih meneruskan Angkatan 45 dan
4.
Gaya
slogan dan retorik makin berkembang
b.
Ciri-ciri
Ekstra Estetik
1.
Ada
gambaran suasana muram
2.
Sajak-sajak
mengungkapkan masalah osial
3.
Banyak
dikemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak
balada.
Periode 1970-1990
Dengan
munculnya penyair-penyair baru yang berbakat pada akhir tahun 1960-an dan awal
tahun 1970’an timbullah periode sastra, khususnya puisi yang mempunyia corak
dan ciri tersendiri.
Perlu
dikemukakan di sini bahwa ada seorang penyair wanita yang telah menulis sejak
awal tahun 1960-an sam pai sekarang masih tetap aktif menulis adalah Isma
Sawitri.
a.
Ciri-ciri
Struktur Estetik
1.
Puisi
bergaya mantra
2.
Dipergunakan
kata-kata daerah secara mencolok
3.
Mempergunakan
asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan makna baru
4.
Gaya
penulisan yang prosais
b.
Ciri-ciri
Ekstra Estetik
1.
Puisi
mengemukakan kehidupan batin eligius
2.
Cerita,
lukisan yang bersifat alegoris atau parabel sangat banyak
3.
Sajak-sajak
menuntut hak-hak aasi manusia
4.
Mengemukakan
kritik sosial atas kesewnangan terhadap kau lemah.
Antologi PuisiIndonesia Modern
Pastilah
antoogi sastra dana ntologi puisi khususnya sangat penting untuk mempelajri
puisi dan periode ke periode dan untuk menyusun sejarah sastra. dapat dikatakan
H.B Jassinlah yang pertama kal enyusun antologi alias bunga rapai sastra yang
terbanyak. Akan tetapi, pastilah Sutan Takdir Alisjahbana yang pertama kali
menyusun antologi puisi seperti tampak pada: Puisi Baru yang merupakan antologi
puisi Pujangga Baru. Dengan demikian, Subagio Sastrawardojo yang lahir dua
tahun sesudah Chairil Anwar (1922), tahun 1924, saja-sajaknya terdapat dalam
Tonggak I sejilid dengan sajak Chairil Anwar meskipun ia dapat digolongkan
penyai periode 1955-1970 dan masih tetap menulis sajak hingga sekarang.
Penutup
Pastilah
ada hal-hal yang belum tercakup dala tulisan ini yang membicarakan sejarah
puisi Indonesia odern 1920-1990 “hanya” dala garis besarnya saja, yang penting
ssepanjang sejarah, sejak Amir Hamzah,, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip
Rosidi, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono sampai dengan Soni Farid aulana.
3.Perkembangan yang Dialektis dalam Kesusastraan Indonesia Modern
Karya sastra itu merupakan respons
(jawaban atau tanggapan) terhadap karya sastra sebelumya. Tak ada karya sastra
yang lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. begitulah halnya
kesusastraan Indonesia Modern. Dapat dikatakan kesustraan Indonesia modern,
secara resmi, lahir dengan terbitnya sajak Indonesia Modern pertaa kali yang
ditulis oleh Mohaad Yamin, berjudul Tanah Air ditulis dibogor Juli 1920, dimuat
dalam majalah Jong Sumatra, No 4,th III, 1920 HLM.52).
Karya
sastra Indonesia modern itu lahir berkat pengenalan para sastrawan(uda)
Indonesia terhadap kesusastraan Barat, khusunya lewat sastra Belanda. Karya
sastra barat dapat dianggap sebagai karya internasional. Akan tetapi, dengan
masuknya unsur internasional yang universal itu bukan berarti unsur-unsur
sastra daerah hilang sama sekali, melainkan sebagai konvensinya masih dapat
diteruskan.
Selain
bentuk baru dalam karya sastra Indonesia modern awal, yaitu sastra Balai
Pustaka dan Pujangga Baru, sebelum perang dunia II, bentuk baru itu berupa
puisi lirik yang lain dari bentuk pantun dan syair,menyimpangi konvensi bentuk
syair dan pantun, dan isinya berupa pernyataan pribadi penyair yang dalam puisi
laa belum ada (Teeuw, 1955:72).
4.Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman
Novel Indonesia Modern
Ada bermacam-macam cara pengisahan cerita.
Pusat pengisahan ini merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau
siapa cerita itu dikisahkan. Pusat pengisahan menerangkan “siapa yang
bercerita” (saad. 1967: 125).
Pada
periode Balai Pustaka, kebanyakan roman mepergunakan pusat pengisahan metode
orang ketiga, khususnya dapat digolongkan metode orang ketiga roantik-ironik
yang sesuai dengan orientasi sastranya yang pragmatik. Roman yang emperhunakan
metode orang pertaa hanyalah sedikit yaitu percobaan
setia karya Suman HS, Di Bawah Lindungan
Kabbah karya Hamka.
Karya
sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk dalamnya karya sastra.
dalam hubungan ini, Atheis karya Achidiat Kartamiharja dapat disebut sebagai
karya sastra yang mentransformasikan Di Bawah Lindunga Kabbah (DLK) sebagai
hiprogamnya. Dalam hal ini yang ditransforasikan adalah struktur penceritaanya
yang berupa alurnya dan juga pusat pengisahannya.transformasi adalah suatu
pemindahan dari karya sastra yang lain, yang pada hakikatnya sama , tetapi
dalam bentuk yang lain. Pusat pengisahan erat hubungannya dengan alur, dan
sebaliknya. Jal ini tmpak dalam struktur DLK maupun ATHEIS , tinjauan
dipusatkan pada pusat pengisajannya.
Rupanya
teknik pengisahan dan alur sorot balik DLK dan ATHEIS masih diteruskan, yaitu
dianggap dan ditransformasikan oleh novel lain karena pengisajan dan
strukturnya sangat menarik.
Pusat Pengisahan Gairah untuk Hidup dan
Mati (GHM) novel Nasjah Djamin merupakan transformasi DLK maupun Atheis
sebagai ipogramnya. Struktur cerita GHM seperti struktur cerita DLK dan Atheis,
terdiri atas tiga bagian. Bagian I merupakan peristiwa-peristiwa akhir bagian
II peristiwa awal, dan bagian III penyelesaian bagian II. Akan tetapi, bagian I
GHM lain dari DLK dan Atheis. Meskipun bagian I merupakan peristiwa sesudah
bagian II, tetapi terjadi sebelum bagian III.
Pusat Pengisahan pada Sebuah Kapal (PSK) novel
N.H Dini menunjukan perkembangan pusat pengisahan metode orang pertama yang
lain dari DLK, Atheis, dan GHM. Dalam PSK ini ada dua aku sertaan seperti
halnya DLK, aku Hamid dan Zaenab. Dalam PSK ini dipergunakan meode Aku sertaan
Sri, penari, dan Aku sertaan Michel, pelaut, yang masing-masing adlah tokoh
utama dalam cerita yang dikisahkannya sendiri-sendiri.
Terjadinya
alur ulangan ini disebabkan oleh penekanan temannya, yaitu bahwa tokoh itu
mengalami kekecewaan karena tidak mendapatkan cinta yang diharapkan di rumah.
Oleh karena itu, orang akan mencari cinta diluar rumah, baik dia seorang
perempuan maupun seorang laki-aki. Tema itu dijelmakan dalam cerita Sri dan
dieprtegas dalam cerita Michel.
Pusat
Pengisahan Raumanen dalam novel Marianne katoppo i]ni dipergunakan
pusat pengisahan campuran, metode orang pertama sertaan dan metode orang ketiga
seperti Atheis. Akan tetapi, ada perkembangan dua metode itu. Hal ini
disebabkan oleh adannya “dua” alur atau bagian cerita. Disini dipergunakan alur
sorot balik yang terdiri dari dua bagian. Bagian kedua merupakan sorot balik
atau kilas balik sesudah bagian pertama. Peristiwa bagian pertama merupakan
peristiwa ssudah bagian kedua, kemudian diselang-seling peristiwa bagian kedua
dan bagian pertama sepanjang buku (cerita) itu.
Pusat Pengisahan Burung-Burung Manyar karya
Y.B Mangunwijaya menggunakan campuran kisahan metode orang pertama dan metode
orang ketiga Atheis. Tekniknya mirip Raumanen, kedua metode itu
diselang-seling. Hanya saja, cerita yang ditandai adalah cerita alam hidup,
cerita tokoh utama dan cerita tokoh kedua diselang-seling. Cerita tokoh
utamanya ditandai dengan metode orang pertama sertaan, yaitu kisah Teto. Cerita
tokoh kedua ditandai dengan metode orang ketiga, yaitu cerita Atiek dan cerita
tokoh-tokoh yang lain atau peristiwa-peristiwa yang lain yang tidak menyangkut
Teto maupun Atiek. Bila Atiek bertemu dengan Teto maka cerita itu dikisahkan
Teto dengan metode orang pertama sertaan. Begitulah pengaluran dan metode
kisahan orang pertama dan orang ketiga itu.
Pusat Pengisahan Olengka novel Budi
Darma menunjukan metode pusat pengisahan yang baru, yang merupakan perkembangan
teknik pusat pengisahan novel-novel sebelumya yang telah dibicarakan. Tekniknya
sedikit mirip dengan metode pusat pengisahan bagian akhir GHM, yaitu peristiwa
pertemuan antara Talib dengan Masako di bar yang merupakan cerita mereka berdua
meskipun membicarakan fuyuko.
Pusat Pengisahan Pata Priyayi 1992
novel Umar Kayam merupakan perkembangan terakhir dalam hal pusat pengisahan
metode orang pertama. “ uniknya” semua tokoh dalamnya menceritakan dirinyna
sendiri dan pengalamannya dengan metode orang pertama sertaan. Uniknya lagi
tiap-tiap cerita tokoh itu selalu bersambungan secara progresif, dalam arti
kisah tokoh yang beraku merupakan lanjutan kisah tokoh sebelumnya secara
kronologis berurutan. Waktunya antara awal tahun 1900-an sampai tahun 1967.
Kesimpulan
dari uraian tersebut, tampaklah ada perkembangan yang khas dalam pusat
pengisaahan metode orang pertama. Entah sadar atau tidak, para sastrawan
menanggapi roman-roman dan novel sebelumnya, mentransformasikan kdalam
karya-karyanya sendiri. Dengan demikian, terjadilah persambungan dalam sejarah
sastra indonesia modern, akan lebih mengetrilah pembaca bila menghubungkan
karya sastra yang satu dengan yang lainya, karya sastra sebelumnya dan
sesudahnya.
5.Kritik Sastra Indonesia dan Permasalahannya
Pada kritik sastra ini terdapat sebuah prinsip-prinsip sastra
yang merupakam salah satu studi sastra yang meliputi tiga bidang yaitu: teori
sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. kritik sastra merupakan studi sastra
yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan
karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. Kritik sastra indonesia modern
selalu diiringi masalah, baik yang praktis maupun yang teoretis. Masalah kritik
sastra itu meliputi hal-hal disekitar kurangnya tempat, kurangnya kritikus
sastra , tidak cocoknya pandangan kritikus dengan para sastrawan, tidak
cocoknya teori kritik sebagai landasan kriitk dengan corak dan wujud
kesusastraan Indonesia modern yang bersifat nasional, pertentangan antara
kritik sastra sastrawan dan kritik sastra akademik, dan sebagainya.
Atas
membanjirnya teori sastra dan kritik sastra yang baru dari barat ini, kemudian
timbul reaksi dan para sastrawan, terutama pelopornya Subagyo Sastrowardojo. Ia
seorangn tokoh penyair, kritikus sastra berasal dari kalangan akademik, tetapi
corak atau (tipe) kritiknya ekspresif yang merupakan ciri khas kritik
sastrawan. Subagyo memberikan reaksi bahwa penggunaan (pengambilan) teori
kritik dari barat begitu saja diterapkan dalam mengkritik karya satsra
Indonesia itu tidak tepat. Hal ini disebabkan oleh teori kritik sastra barat
itu berdasarkan sasta barat yang mempunyai latarbelakang sosial budaya itu
sendiri yang berlainan dengan latar sosial budaya kesusatraan Indonesia.
Disamping itu, kritik sastra barat yang baru itu sering kali ddasarkan pada sebuah
karya sastra tertentu seorang sastrawan tertentu hingga teori dan metodr
kritiknya tidak dapat begitu saja diterapkan dalam mengkritik karya sastra
Indonesia. Begitu pula, kritik sastra baru itu bercorak (bertipe) objektif yang
menghapuskan pengarang dari teks, padahal pikiran-pikiran dal;am karya sastra
itu pekiran pengarang sendiri. Dengan kritik objektif itu karya satra hanya
menjadi kumpulan kata (leksia) dan pribadi pengarang menjadi terhapus sama
sekali ! reaksi Subagyo itu dikemukakan dalam makalahnya berjudul “
Kesimpulan-Kesimpulan dari Pengalam Menulis” (1984) dan “Mencari Jejak Teori
Sastra Sendiri” (1988)
Demikianlah
prinsip kritik sastra, corak kritik sastra Indonesia modern, dan permasalahanya
secara garis besar.
6.Konkretisasi Sastra
Karya satra adalah artefak, adalah
benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik (Teeuw, 1984:191) .
bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggala manusia
purba mempunyai arti bila diberi makna oleh arkeolog. Istilah pemberian makna
disebut kretisasi
Salah
satu kegiatan kritik sastra adalah pemberian makna atau penangkapan maksa karya
sastra. dengan demikian karya sastra dapat dipahami dan dapat dinilai
setepatnya. Karya sastra sebagai artefak tidak mempunyai makna tanpa diberi
makna oleh pembaca. Disini faktor pembaca menjadi penting sebagai pemberi makna
pada waktu sekarang.
Berdasarkan
hal tersebut, maka dapat menangkap makna atau memberi makna karya sastra,
pastilah diberikan cara-cara yang sesuai dengan sifat hakikat karya sastra.
pertama kali, karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa. Bahasa
sebagai medium tidaklah netral, dalam arti sebelum menjadi unsur sastra, bahasa
sudah mempunyai arti sendiri. Bahasa merupakan sebuah sistem semiotik
(ketanndaan) tingkat pertama, yang sudah mepunyai arti (meani). Dalam karya
sastra arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna significance sebagai sistem
tanda tingkat.
Dari
uraian diatas teranglah bahwa konkretisasi karya sastra sangat diperlukan
bermacam-macam usaha untuk dapat memberikan makna sepenuh-penuhnya kepada karya
sastra. usaha-usaha tersebut saling membantu, tidak dapat dilakukan secara
terpisah untuk mendapat hasil yang maksimal.
7.Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik
Untuk penelitian sastra dengan
menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali harus dimengerti dahulu
mengenai teori itu, kemudian mengenai metodenya. Dalam hal itu, teori yang
dipergunaan sebagai pendekatan sastra adalah semiotik. Jadi, haruslah
dimengerti apakah semiotik itu dan seluk beluk serta metodenya.
Penelitian
sastra dengan pendekatan semiotik itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan strukturalisme. Dikemukakan Junus (1981;17) bahwa semiotik merupakan
lanjutan atau perkembangan strukturalisme. Strukturalisme itu tidak apat
dipisahkan dengan semiotik. Alasannyna adalah karya sastra itu merupakan
srtuktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, dan
maknanya dan konvensi tanda, struktur karya sastra tidak dapat dimengerti
maknanya secara optimal.
Sistematika
pembicaraannya kurang lebih sebagai berikut: pembicaraan dimulai dengan 1.
Pengertian semiotik
2.
Tanda:
penanda an petanda
3.
Bahasa
dan sastra (kesusastraan)
4.
Metode
semiotik dalam penelitian sastra
5.
Konveksi
ketaklangsungan ekspresi
6.
Penunjukan
teks ke teks lain: hubungan intertekstual
7.
Pembacaan
semiotik heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.
a. Pengertian Semiotik
Semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Tokoh yang
dianggap pendiri semiotik ada dua orang yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913)
dan seorang filsafat Charles Sander Peirce (1839-1914)
b. Tanda: Penanda dan Petanda
Semiotik
adlah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai aspek yaitu petanda (signifier) dan
petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang
disebut petanda, sedangkan petanda adlah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu
yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang
menandai arti: ‘orang yang melahirkan kita’.
c. Bahasa dan Sastra (kesusastraan)
Sastra
(karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai
mediumnya. Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi sastra atau
disesuaikan dengan konvensi sastra. makna sastra ditentukan oleh konvensi
sastra atau konvensi tambahan itu. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti
bahan atau konotasinya.
d. Metode Semiotik dalam Penelitian
Dikemukakan
Preminger dkk (1974:981) bahwa penerangan semiotik itu memandang objek-objek
atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa: sistem
linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis.
e. Konvensi Ketaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan
oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi tu dahulu hingga sekarang selalu berubah
karena evolusi selera dan konsep estetik yang selalu berubah dari periode ke
periode.
Ketidaklangsungan
ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu
pertama penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti.
f.
Penunjukan Teks ke Teks Lain :
Hubungan Intertekstual
Karya
sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra itu merupakan
sebuah response pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Pleh karena itu,
sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain.
g. Pembacaan Semiotik: Heuristik dan Hermeneutik atau Retrokatif
Untuk dapat
memberi makna ajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan
pembacaan heuristik dan hermeneutik atau
retroaktif (Riffaterre, 1978: 5-6)
Pembacaan
heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik
adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik
dengan memberi konvensi sastranya.
8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik
Teori
struktural dan semiotik pada dewasa ini merupakan salah satu teori sastra
(kritik sastra) yang terbaru di samping teoriestetika resepsi dan dkonstruksi.
Akan tetapi, teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di
Indonesia. Kritik sastra di Indonesia masih menggunakan teori-teori sastra yang
lama, yang sudah ketinggalan daam perkembangan kemajuan studi sastra pada
umumnya. Oleh karena itu, dalam pembicaraan ini dicoba untuk menerapkan teori
tersebut dalam mengalisis sajak indonesia untuk turut memperkembangkan studi
sastra dalam kesusastran indonesia modern.
Analisis Struktral dan Semiotik
Menganalisis sastra adlah usaha
menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya sastra (puisi). Karya sastra merupakan struktur
makna atau struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan
sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.
Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Analisis
struktural yang digunakan dengan semiotik disebut strukturalisme dinamik(Teeuw.
1983: 82). Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang
perspektif tinjauannya sinkronis yang tak sepenuhnya dapat menangkap relevansi
eksistensial (rangka sosial-budaya) dan makna historis. Di muka telah
dikemukakan bahwa sastra (puisi) itu merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat
kedua yang mempergunakan medium bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat
pertama. Jadi, di dalamnya ada konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi
tambahan ( maksudnya tambahan di luar konvensi bahasa) oleh preminger (1974:
981)
Hubungan Intertekstual
Untuk
mendapatkan makna sepenuhnya sebuah sajak, selain sajak harus diinsyafi ciri
khasnya sebagai tanda, sign, tidak boleh pula dilupakan hubungan sejarahnya,
baik dengan keseluruhan sajak-sajak
penyair sendiri, sajak-sajak sezamannya, maupun dengan sajak-sajak sastra zaman
sebelummya. Karya sastra (puisi) ditulis tidak dalam situasi kekosongan budaya
(sastra) . sajak diiutlis dalam hubungannya dengan zaman penyair menulis,
maupun dalam pertentangan dengan sajak-sajak zaman sebelumnya.
9.Hubungan Intertekstual dlam Sastra Indonesia
Pengertian
mengenai hubungan intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah
diketahui bagaimana wujud kritik sastra dan perdebatannya sepanjang sejarah
kritik sastra. maka dlam tulisan ini pertma akali diuraikan menganai wujud
kritik dan perdebatannya itu namun, karena yang penting dalam pembicaraan
mengenai intertekstualitas sendiri, mak wujud kritik sastra dan
perdebatan-perdebatannya hanya diuraikan mengenai yang perlu-perlu saja, secara
garis besarnya dan secara ringkas.
Orientasi Sastra
Dalam
bidang kritik sastra ada bermacam-macam orientasi atau pendekatan terhadap
karya sastra. Abrams (1979:6-29;1981: 36-7) mengemukakan bahwa bermacam-macam
pendekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan keseluruhan situasi
karya sastra: alam, pembaca, pengarang, dan karya sastra, yaitu mimetik
menganggap karya sastra itu merupakan tiruan dari alam atau kehidupan atau
dunia ide; pendekatan ekspresif menganggap karya sastra itu sebagai ekspresi
perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarang; pendekatan pragmatik menganggap
karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu kepada (bagi) pembaca;
dan pendekatan objektif karya sastra itu sebagai sesuatu yang otonom, yang
berdiri sendiri, sesuatu yang mencukupi dirinya. Keempat pendekatan itu
sepanjang sejarahnnya telah mengalami perdebatan-perdebatan dan dialektika yang
tidak ada henti-hentinyna hingga sekarang.
Karya
sastra merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang menggunakan sistem
tanda tingkat pertama ke bentuk sebuah struktur yang tingkat lebih tinggi.
Dengan demikian, aada konvensi-konvensi tertentu yang harus diperhatikan oleh
pembaca (kritikus) dalam memberikan mana kepada karya sastra yang dibaca dan
dikritiknya.
Hubungan Intertekstual
Dalam
menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna kepada
unsur-unsur karya sastra dan keseluruhan
karya sastra. pemberian makna ini berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra
yang khusus disebut Preminger dkk (1974: 981) sebagai konvensi tmbahan, di
samping konvensi bahasa yang menjadi mediumnya.
Untuk
mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan
karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budaya dalam hubungan
pembicaraan intertekstualitas ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya.
Karya
sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaannya (Teeuw, 1980: 11),
termasuk dalamnya situasi sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta
berdasarkan konvensi sastra yang ada, disamping juga sebagai sifat hakiki
sastra, yaitu sifat kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu
dicita menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada
ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan (Teeuw, 1980: 12)
Dalam
kesusastraan Indonesia modern pun dapat
kita jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa
maupun puisi.
Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia
Hubungan intertekstual
dalam karya sastra prosa Indonesia modern, misalnya dapt dilihat antara Di
Baawah Lindungan Kabbah (DLK) karya Hamka dengan Atheis dan Gairah untuk hidup
dan untuk mati karya Nasijah Djamin (GHM)
Tampak
adanya hubungan intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM terutama mengenai
strktur cerita (alur) dan pusat pengisahannya di samping masing-masing
mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri. Ketiganya berstruktur terdiri dari tiga
bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang pertama
digabungkan dengan metode orang ketiga.
Hubungan Intertekstual dalam Puisi
Indonesia Modern
Intertekstual
puisi sastra Indonesia modern dapat dilihat misalnya antara sajak-sajak Amir
Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Begitu juga sajak-sajak Chairil Anwar
dengan sajak-sajak para penyair sesudahnya. Intertekstual sajak-sajak Amir
Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya menunjukan adanya hubungan
pertentangan. Sajak-sajak Chairil Anwar merupakan pertentangan terhadap
konvensi estetik dan tradisi kepuisian sajak-sajak Pujangga Baru (dan sajak
lama) yang tampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah. Adapun
intertekstualitas antara sajak-sajak Chairil Anwarv dengan sajak-sajak para
penynair sesudahnya merupakan hubungan persamaan, para pennyair sesudahnya
meneruskan gaya sajak dan ide Charil Anwar.
Dalam
hal gaya ekspresi, Chairil Anwar menggunakan gaya semacam imagisme, yaitu gaya
yang menemukakan pengertian dengan citra-citra, gambaran-gambaran, atau
imaji-imaji. Dengan demikian kata-kata dan kalimatnya ambigu, bertafsir ganda,
Amir Hamzah mepergunakan citra-citra juga, tetap tidak untuk mengemukakan
pengertian, melainkan mengkonkretkan tanggapan.
10. Hubungan Intertekstual Roman-roan Balai Pustaka dan Pujangga Baru
Hubungan intertekstual atau hubungan
antarteks karya sastra penting untuk diteliti dalam studi sastra, baik dalam bidang
kritik maupun sejarah sastra. hal ini penting untuk memperjelas maknanya
sebagai karya sastra untuk memudahkan pemahamannya, baik pemahaan teks maupun
akna dan posisi kesejarahannya.
Dalam
penyesunan sejarah sastra, periodisasi merupakan salah satu prinsipnya,
periodisasi adalah pembabakan waktu atau perios-periosde sasian waktu yang
dikuasai oleh siste norma-norma sastra dan konvensi-konvensi sastra yang
munculnya, meluasnya, keberbagiannya, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut
(Wellek dan Werren, 1968: 265)
Jadi,
dalam hubungan sejarah antarteks itu perlu diperhatikan prinsip
interlekstualitas. Sebuah karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya
dengan karya sastra ini. Teks sastra yang menjadi latar penciptaan karya sastra
lain oleh Riffatere (1978:11,23) disebut hipogram.
Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka
Roman
Indonesia yang diterbitkan pertaa kali
aleh Balai Pustaka adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregarpada tahun
1921. Hal ini mengingat bahwa Azab dan Sengsara merupakan roan berbahasa
Indoenesia (melayu) yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka, disamping
itu, karena ditulis oleh orang Indonesia dengan bahasa Indonesia, tentulah
lebih diakrabi oleh penulis-penulis Indonesia sesudahnya bila dibandingkan dengan
roman-roan Hindia Belanda. Setidak-tidaknya Azab dan Semgsara enimbulkan
motivasi lebih kuat untuk menulis roman bermasalahkan adat kawin paksa.
Catatan Penutup
Di depan pembicaraan hubungan intertekstual
hanya mengenai karya sastra prosa saja dan roan sebelum perang dunia II.
Sesungguhnya dalam kesusastraan Indonesia selalu ada persambungan tradisi dan
konvensi, seperti dalam salah satu tulisan saya (pradopo, 1985) saya tunjukan
adnaya hubungan intertekstual antara sajak Amir Hamzah sebagai hipogranya.
Dengan sajak-sajak Chairil Anwar yang enyerap dan mentransformasikannya. Begitu
juga dalam tulisan itu telah saya tnjukkan adanya hubungan intertekstual antara
novel-novel tiga periode, yaitu antara Di Bawah Lindungan Kabbah sebagai
hipogramnya, Atheis, Gairah untuk Hidup, Gairah untuk Mati karya Nasjah Djamin,
yang keduannya menyerap dan mentransformasikan struktur novel yang pertama.
11. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya
Yang
dimaksud dengan estetika resepsi atau
estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pemmbaca terhadap karya sastra.
Dari
dulu sapai sekarang karya sastra itu selalu mendapat tanggapan-tanggapan
pembaca, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama atau secara masal.
Meskipun
demikian, perhatian atas peranan pembaca terhadap pemberian makna karya sastra
itu baru saja, yaitu baru sesudah Hans Robert Jauss, seorang maha guru sastra
Universitas Konstanz di Jerman Barat, membawakan pendapatnya dala sebuah
artikel yang terkenal pada akhir tahun 1969 dengan judul Literaturgeschichte
als provokation (sejarah sastra sebagai tanggapan) (segers, 1980:9, 11).
Sebelumnya orang menitikberatkan perhatian pada karya sastra, pengarang,
ataupun hubungan antara karya sastra dengan alam.
Orientasi Terhadap Karya Sastra
Pada
dasarnya orientasi terhadap karya sastra itu ada empat macam seperti yang
digambarkan oleh Abrams (1976:6) :
1.
Karya
sastra itu merupakan tiruan alam atau penggambaran alam
2.
Karya
astra itu merupakan alat atau sarana untuk encapai tujuan tertentu pada
pembacanya
3.
Karya
sastra merupakan pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawan
4.
Karya
sastra iu merupakan sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam
sekelilingnya, pembaca maupun pengarangnya.
Dasar-dasar Teori Estetika Resepsi
·
Cakrawala
harapan dan tempat terbuka
·
Metode
estetika resepsi
·
Penelitian
estetika resepsi naskah tulisan tangan sastra lama
·
Penelitian
estetika resepsi pada karya sastra modern
12. Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar
Chairil Anwar dianggap penyair yang
terpenting dala kesusastraan Indonesia modern, pastilah disebabkan oleh
sajak-sajaknya yang merupakan sajak yang inovatif. Chairil Anwar dianggap
sebagai pelopor Angkatan 45 oleh para sastrawan sezamannya dan oleh para
kritikus sastra
Sebagai
penyair yang sangat penting karena sajak-sajaknya maka dari waktu ke waktu sajak-sajaknya
selalu mendapat tanggapan atau persepsi para pembaca sastra, termasuk para
kritikus. Tanggapan tersebut beracam-aca berdasarkan horizon harapan
masing-masing pembaca ataupun horizon harapan pembaca pada tiap produk.
Resepsi
terhadap karya sastra itu dapat berupa pemberian komentar baik lisan maupun
tertulis, pembacaan sajak, ataupun pentransformasian gaya ataupun ide atau
gagasannya.
Sebagai
salah satu tindakan resepsi, dala tulisan ini dibahas sajak-sajak di antara
sajak-sajak tersebut diatas.
Kerangka Teori dan Metode Estetika Resepsi
Ilmu
sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut
estetika resepsi, yaitu ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan
pembaca atau resepsi pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 1986: 182). Dari
waktu ke waktu karya sastra, lebih-lebih karya sastra yang penting, selalu
mendapatkan tanggapan para pembaca. Tiap pembaca berbeda dalam enanggapi sebuah
atau sekumpulan karya sastra. karya sastra selalu meberikan wajah yang berbeda
kepada pembaca yang lain, dari generasi yang satu ke generasi yang lain selalu
memberikan orkestrasi yang berbeda (Jauss, 1974: 14).
Perbedaan
pembacaan karya sastra seorang pembaca dengan pembaca yang lain, dan dari suatu
periode ke periode yang lain itu disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar
teori estetika resepsi. Pertaa prinsip Horizon harapan, dan kedua Tempat
terbuka.
Horizon
harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelu embacanya. Pembaca
sudah mempunyai “wujud” karya sastra dalam dirinya. Kalau wujud harapannya
kemudian sesuai dengan wujud harapan dala karya sastra yang dibacanya, maka ia
akan mudah menerianya. Akan tetapi, kalau tidak sama wujudnya harapannya, maka
ia akan mmereaksiknya, baik dengan antusias atau sikap menolaknya.
Di
saping horizon harapan yang menyebabkan perbeaan pembacaan dan pemaknaan
terhadap sebuah karya sastra, maka tempat terbuka (Leerstelle) dalam karya
sastra itu sendiri yang menyebabkan perbedaan tanggapan. Hal ini berhubungan
dengan sifat karya sastra yang engandung kemungkinan banyak tafsir. Misalnya
dipergunakan kiasan-kiasan seperti metafora dan metonimi; begitu juga. Digunakan
gaya yang segestif, tidak melukiskan sesuatu secara detail (renik), hanya yang
pokok-pokok saja; begitu juga dipergunakan bentuk visual: tipografi, sajak,
homologues, ataupun enjambement. Semuanya itu emberikan kemungkinan banyak
tafsir.
Resepsi terhadap Beberapa Sajak Chairil Anwar
Sajak
terbitnya sapai sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para
pembacanya baik resepsi yang positif aupun negatif, yang disebabkan oleh
horizon harapan yang berbeda.
Dikemukakan
Jassin bahwa Chairil Anwar melancarkan serangan terhadap bentuk sajak lama.
Termasuk sajak Pujangga Baru. Dikemukakan contoh-contoh sajak baru adalah
sajak-sajaknya sendiri yang revolusioner bentuk dan isi, sajak-sajak yang
“meledak-ledak”, melambung ke ketinggiaan menggaangkan dan menerjunkan ke
dalamnya menghimpit mengerikan. Dikemukakan Jassin (1962: 78) dalamnya
kelihatan jiwa memberontak, terhadap sekeliling.
Dikemukakannya
(Alisjahbana, 1977:139-180) dalam essainya yang berjudul “Penilaian chairil
anwar kembali”, Chairil Anwar embawa suasana, gaya, rite, tempo, nafas,
kepakatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia (1977: 175). Karena
penilaian Alisjahbana pragmatis, yang enghendaki karya sastra berguna bagi
pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesiistis dan berisi
peberontakan itu diupaakan engeluarkan
keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari kehidupan masyarakat (1977:175).
Jadi, tampaklah takdir Alisjahbana kurang menghargai sajak-sajak Chairil Anwar,
lebih-lebih dalam hal isi atau ide yang dikemukakannya. Ia terbatas enghargai
pada struktur estetiknya.
Kesimpulan
Sajak-sajak
Chairil Anwar sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan atau resepsi.
Resepsi itu berupa penilaian dengan kriteria estetik maupun ekstra estetik. Ada
penanggap yang menghargai secara positif ada yang secara negatif. Akan tetapi,
pada umumnya secara estetis para penanggap enilai karya sastra Chairil Anwar
bernilai. Hal ini didasarkan pada ideologi yang dianut oleh para penanggap,
lebih tepat lagi didasarkan pada horizon harapan masing-masing penanggap atau
persepsi.
13. Tanggapan Pebaca Terhadap Belenggu
Struktur
karya sastra itu dinamis melalui tanggapan pembacanya dari waktu ke waktu. Dari
waktu ke waktu karya sastra mendapat tanggapan pembaca. Tiap pembaca berbeda
dala enanggapinya. Elalui tanggapan pembaca dari waktu ke waktu ini, akna karya
sastra dapat lebih terungkap dan nilai sastranya pun dapat ditentukan dengan
lebih baik. Karya sastrra selalu meberikan wajah yang lain kepada pembaca yang
lain, selalu emberikan wajah yang lain kepada pembaca yang lain, dari generasi
yang satu ke generasi yang lain selalu memberikan orkestrasi yang berbeda
(Jauss, 1974:14)
Apresiasi
karya sastra suatu periode akan ditentukan oleh generasi sesudahnya, dan
seterusnya. Oleh karena itu, makna suatu karya sastra akan selalu diperkaya.
Tanggapan karya sastra dari seorang ke seorang, dari periode ke periode selalu
berbeda disebabkan oleh horizon harapannya.
Disaping
itu dalam karya sastra ada tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk
mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yanga mempunyai
kegandaan tafsir (polyinterpretability). Karya sastra tidak memnerangjelaskan
suatu hal secara menyaran atau sugestif. Dalam mengisi tempat-tempat terbuka
ini antara seorang dengan yang lain berbeda disebabkan oleh horizon harapannya
yang berbeda tersedut.
Begitulah,
belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan yang berbeda, bahkan
juga pada waktu terbitnya. Tanggapan para pembaca belenggu dari sajak terbitnyna
hingga sekarang (1990) sebagai uraian berikut.
Pada
waktu naskah belenggu dikirimkan ke Balai Pustaka, naskah ditolak untuk
diterbitkan. Penolakan ini disebabkan oleh sifatnya yang bertentangan dengan
aturab atau syarat-syarat Balai Pustaka pada waktu itu, yaitu semua karangan
yang hendak diterbitkan Balai Pustaka harus tidak melanggar ketertiban, budi
pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan pemerintah Hindia
Belanda. Jadi, tampak di situ kriteria yang dapat digolongkan kriteria pragmatik.
Gambaran kaum intelektual seperti Kartono, Tini, Yah yang tidak memberi contoh
kepada masyarakat (pembaca) itu dianggap sama sekali melanggar ketertiban dan
budi pekerti masyarakat. Di samping itu, dirasakan tidak layak bahwa kaum
intelek hidup tidak rukun, dokter Kartono yang mempunyai simpanan, lebih-lebh
Yah adalah perempuan yang tidak baik (wanita malam). Hal ini pastilah memalukan
dan menimbulkan “keguncangan” kepercayaan masyarakat kepada kaum intelek.
Dikemukakannya
Belenggu dan Layar Terkembang. Dikemukakannya (him, 125-126) bahwa karena
ideologi modernise universal yang sangat menjiwai pandangan dunianya, dunia
yang direka Takdir dan Layar Terkembang adalah suatu replika ideologi yang
sangat diinginkannya untuk hadir dan berlaku di negeri in. Oleh karena itu,
model dunia yang diciptakannya nynaris merupakan suatu model seorang ahli ilmu
sosial daripada seorang penulis sastra. sebaliknya. Belenggu, Armijin Pane
tidak tampil sebagai seorang ideologos ethos modernisme, melainkans sebagai
pengamat sosial yang dingin yang mampu mengambil jarak dari lingkungan dunia
rekaannya. Dalam roman ini Armijin Pane ingin memahami dan menjelaskan
kerumitan perbenturan antara nilai-nilai kelas menengah borjuasi Barat yang
sedang mulai berjalan di Indonesia. Oleh karena itu, Armijin mereka suatu dunia
kehidupan yang rumit, yang didalamnya para tokohnya terlibat dan berada dalam
keterombangambingan, kebengingungan dalam mengambil sikap dan keputusan.
Sebagai akibat dari belenggu nilai-nilai lama yang ternyata masih kuat berakar
dalam masyarakat. Penutupnyna pun tidak menjanjikan suatu penyesalan dengan
menyatakan “pintu itu hendak ke mana ?” (Kayam, 1988: 126). Begitu pula, bahasa
yang dipilihnya adalah suatu bahasa yang cermat dibangun untuk menjelaskan
model dunia kehidupan yang gagap, bingung, tidak pasti. Begitu dingin dan lugas
pemilihan bahasanya sehingga seringkali memberikan kesan sebagai bahasa yang
nyaris baru diciptakan. Berlainan halnya dengan Layar Terkembang yang merupakan
sutau roman esai/esaistik yang merupakan wahana untuk menynampaikan pesan atau
ideologi; Belenggu adalah roman sewajarnya, bukan wahana pesan, melainkan
berjalan dengan sendirinya menjelaskan suatu fenomena sosial yang berupa
perbenturan nilai. Tidak seperti takdir berpandangan bahwa hidup adalah sesuatu
yang dijelang dengan semangat keja yang bernynala-nynala, Armijn Pane menduduki
dirinya sebagai pengamat kehidupan yang baginya nampak rumit. Ia ingin
menjelaskan kerumitan dari kerumitan itu, dan menyerahkan kesimpulan dari
persepsi tulisannya kepada pembacanya (Kayam, 1988: 127).
Dikemukakannya
bahwa pada hakikatnya Atheis meneruskan tradisi Belengu. Achidiat pun mencoba
memahami kompleksitas perbenturan antara nilai-nilai tradisional dengan
nilai-nilai modern. Apabila dalam Belenggu Armijn Pane melihat perbenturan itu
adalah antara nilai-nilai birokrasi, priyayi, dengan nilai-nilai kelas menengah
Barat. Dalam Atheis perbenturan itu antara nilai-nilai kelas menengah elit
birokrasi, menak priyayi, dan antara kedua kelompok sistem nilai itu (Kayam,
1988: 127). Dari sudut pilihan bahasanya, menciptakan suatu bahasa baru yang
sesuai dan secara estetis relevan dengan usaha untuk menjelaskan kerumitan
dunia alternatif yang ditawarkan (1988: 128)
Dari
uraian tersebut secara tidak langsung Umar Kayam memebrikan penilaian positif
kepada Belenggu. Menilainya sebagai karya yang bermutu seni tinggi.
Dari
apresiasi pertama sejak lahirnya tampaklah bahwa sampai pada apresiasi terakhir
selalu menunjukan nilai Belenggu yang kian bertambah sebagai karya sastra yang
berbobot. Hal ini disebabkan oleh apresiasi yang semakin meningkat sehingga
dapat meamhami atau memberi makna Belenggu lebih lengkap. Para pembaca kian
dapat menemukan keunikannya sebagai karya berbobot berkat peningkatan
pengetahuannya dalam teori dan kritik sastra. tampaklah seperti apa yang
dikemukakan Jauss (1974: 12-13) bahwa apresiasi pembaca pertama terhadap karya
sastra akan dilaanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan lebih lanjut
dari generasi ke generasi. Begitulah apresiasi terhadap Belenggu yang selalu
bertambah dan diperkaya itu sehingga dapat dikonkretisasikan dengan lebih baik.
Secara penuh dan menyeluruh.
Subscribe to:
Posts (Atom)