Pages

Thursday, February 27, 2020

Teori Riffaterre

A.    Semiotika Michael Riffaterre
Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah: (1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif), (3) matriks, model, dan varian, dan (4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).

1.      Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi
Ciri penting puisi menurut Michael Riffaterre adalah puisi mengekspresikan konsep-konsep dan benda-benda secara tidak langsung. Sederhananya, puisi mengatakan satu hal dengan maksud hal lain. Hal inilah yang membedakan puisi dari bahasa pada umumnya. Puisi mempunyai cara khusus dalam membawakan maknanya (Faruk, 2012:141). Bahasa puisi bersifat semiotik sedangkan bahasa sehari-hari bersifat mimetik.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi terjadi karena adanya pergeseran makna (displacing), perusakan makna (distorsing), dan penciptaan makna (creating) (Riffaterre dalam Faruk, 2012:141).

a.      Pergeseran Makna (Displacing of Meaning)
Pergeseran makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Umumnya, penyebab terjadinya pergeseran makna adalah penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi.

b.      Perusakan atau Penyimpangan Makna (Distorsing of Meaning)
Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya. Kontradiksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Non-sense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus) tetapi mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks (Salam, 2009:4).

c.       Penciptaan Makna (Creating or Meaning)
Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza” (Riffaterre dalam faruk, 2012:141). Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya: enjambemen, tipografi, dan homolog.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak yang menyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “diloncatkan” ke baris berikutnya. Pelocatan itu menimbulkan intensitas arti atau makna liris.
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti tetapi dalam sajak akan menimbulkan arti. Sedangkan homolog adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama (Salam, 2009:5).
Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ketidakgramatikalan (ungrammaticality).
Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak kronologis.

2.      Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik sedangkan pembacaan tahap kedua disebut sebagai pembacaan hermeneutik.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.
Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang berhubungan.
Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian makna dan arti. Riffaterre dalam Faruk (2012:141) membedakan konsep makna dan arti. Makna yang terbangun dari hubungan kesamaan dengan realitas, yang membuatnya menjadi heterogen, yakni makna linguistik yang bersifat referensial dari karya disebut meaning, yang dapat diterjemahkan  sebagai “makna”, sedangkan makna yang terbangun atas dasar prinsip kesatuan formal dan semantik dari puisi, makna yang meliputi segala bentuk ketidaklangsungan, disebut sebagai significance yang dapat diterjemahkan sebagai “arti” (Faruk, 2012:142).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “makna” (meaning) adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan “arti” (significance) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa makna sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan arti bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks.
Pada tataran pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan “makna” sebuah teks, sedangkan “arti” diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik.

3.      Matriks, Model, dan Varian
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (pu­isi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka­limat atau kalimat sederhana (Salam, 2009:7). Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.

4.      Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard dalam Salam, 2009:7).
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa keadaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau  alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada m”atriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).
Menurut Riffaterre, “arti” itu dapat ditemukan melalui berbagai bentuk objektivitasnya yang berupa teks. Namun, teks yang menjadi matriks atau hipogram itu sendiri baru bisa ditemukan setelah menemukan “makna” kebahasaan dari puisi yang bersangkutan. “Makna” kebahasaan itu adalah makna referensial yang berupa rangkaian ketidakgramatikalan (ungramatically), yaitu ketidaksesuaian antara satuan-satuan tanda kebahasaan yang ada di dalam teks dengan gambaran mengenai kenyataan yang diacunya. Karena “makna” ini bersifat kebahasaan, maka ia dapat ditemukan di dalam teks puisi yang diteliti atau dibaca. Hanya saja satuan-satuan makna kebahasaan itu sendiri belum memadai untuk membawa pembaca pada pengetahuan mengenai “arti” melainkan hanya menjadi “pengantar” ke arahnya. Satuan-satuan makna kebahasaan itu, yang berupa serangkaian ketidakgramatikalan tersebut, harus dihubungkan satu sama lain secara oposisional sehingga membentuk pasangan-pasangan oposisi yang saling ekuivalen dan bersifat paradigmatik. Untuk membentuknya menjadi pasangan-pasangan oposisional yang paradigmatik tersebut, pembaca harus melakukan pembacaan secara hermeneutik dan pembacaan dengan bantuan “konvensi sastra”. Konvensi sastra berfungsi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang dapat mempertemukan satuan-satuan makna kebahasaan yang satu dengan yang lain, untuk melampaui secara bertahap serangkaian ketidakgramatikalan yang ada (Faruk, 2012:148).

B.     Implementasi Semiotika Michael Riffaterre
Untuk memperjelas pemahaman konsep semiotik Michael Riffaterre, berikut disajikan analisis puisi dengan menggunakan konsep Riffaterre tersebut. Analisis yang disajikan diambil dari buku yang berjudul Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan Awal, karya Prof. Dr. Faruk. Berikut analisisnya.

Manusia Pertama di Angkasa Luar
(Subagyo Sastrowardoyo)

Beritakan kepada dunia (1)
Bahwa aku telah sampai pada tepi (2)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3)
Aku kini melayang di tengah ruang (4)
Di mana tak berpisah malam dengan siang. (5)
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang. (6)
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang. (7)
Jagat begitu tenang. Tidak lapar (8)
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah. (9)
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. (10)
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu (11)
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota (12)
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat (13)
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari. (14)
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa (15)
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku (16)
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela (17)
Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta– (18)
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap (19)
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari (20)
Perlawatanku di langit tak terberita. (21)
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu (22)
Kutinggalkan kemarin dulu? (23)
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
Sebab semua telah terbang bersama kereta (25)
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26)
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27)
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28)
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi (29)
Tetapi aku telah sampai pada tepi (30)
Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31)
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku (32)
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang (33)
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam. (34)
Aku makin jauh, makin jauh (35)
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36)
Makin gemuruh. (37)

Bunda, (38)
Jangan membiarkan aku sendiri. (39)

1.      Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dari judulnya tampak bahwa puisi di atas bercerita tentang kenyataan, peristiwa peluncuran pertama manusia ke angkasa luar dengan menggunakan roket yang pada waktu itu bernama Apollo. Hal ini dipertegas oleh baris pertama pembukanya, “beritakan pada dunia …”. Hampir semua pernyataan di dalam puisi itu menggambarkan kenyataan, yaitu kenyataan pengalaman dan perasaan manusia pertama yang sampai ke luar angkasa itu: ruang angkasa yang sepi, melayang, bumi yang tampak makin jauh, tidak adanya perasaan lapar, kerinduan kepada keluarga, bayangan mengenai anak yang mencoba menangkap bayangan pesawat bapaknya yang ada di langit, dan sebagainya. Namun, terdapat beberapa pernyataan dari baris puisi itu yang membuat gambaran mengenai kenyataan itu menjadi tidak gramatikal atau ungramatikal, tidaj bersesuaian dengan kenyataan, yaitu sebagai berikut.

  1. Bahwa aku telah sampai pada tepi (2)
  1. Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (3)
  1. Perlawatanku di langit tak terberita. (21)
  1. Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita (24)
  1. Sebab semua telah terbang bersama kereta (25)
  1. ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi (26)
  1. daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji (27)
  1. yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi (28)
  1. Tetapi aku telah sampai pada tepi (30)
  1. Darimana aku tak mungkin lagi kembali. (31)
  1. Aku makin jauh, makin jauh (35)
  1. Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi (36)
misalnya pada kalimat “undang-undang mulai berpesta” yang diartikan sebagai kritikan kepada atasan tentang aturan-aturan yang tidak dijalankan dengan semestinya.
Baris (2) menimbulkan ungramatikalitas karena ruang angkasa bisa dikatakan tidak bertepi. Yang membuat baris (3) menjadi faktor bagi ungramatikalitas adalah pernyataan bahwa dalam perjalanan ke ruang angkasa “aku tak mungkin kembali”. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya. Ungramatikalitas dari baris (21) terletak pada pertentangannya dengan pernyataan yang ada di baris (1), juga pada kenyataan bahwa perjalanan ke ruang angkasa itu mendapat banyak pemberitaan. Pernyataan dalam baris (24), (25), dan bagian pertama baris (26) menjadi ungramatikal akibat perbedaannya dari kenyataan bahwa yang dibawa terbang oleh pesawat ruang angkasa itu bukanlah cita-cita, melainkan diri manusia secara fisik. Yang membuat “aku” terlontar jauh dari bumi bukanlah seribu rumus ilmu yang penuh janji, melainkan pesawat ruang angkasa sehingga pernyataan dalam baris (27) dan (28) juga ungramatikal. Ungramatikalitas baris (30) dan (31) sama dengan baris (2) dan (3). Pernyataan baris (35) bertentangan atau kontradiktif dengan pernyataan di baris (2), (3), (30), dan (31) yang menyatakan bahwa “aku” sudah sampai ke tepi. Bagian kedua baris (36) bisa sama dengan baris (35), tetapi bisa juga gramatikal jika dilihat dari segi waktu, bukan ruang. Waktu yang makin lama dapat membuat hati makin sepi.
Semua baris yang ungramatikal mendorong proses pembacaan bergerak meninggalkan cara pembacaan heuristik yang bersifat mimetik dan linguistik, menuju pembacaan tahap berikutnya, yaitu pembacaan hermeneutik yang melingkar dan yang berdasarkan konvensi sastra atau ekstra-linguistik. Semua ungramatikalitas yang ada sebelumnya mulai menemukan jalan keluarnya ketika pembacaan sampai pada baris (27). Tampak di situ bahwa puisi ini menempatkan pesawat ruang angkasa sebagai metonimi dari perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan bantuan pengetahuan mengenai keterkaitan antara ilmu dengan teknologi, tentu saja perkembangan itu meliputi perkembangan teknologi pula, teknologi yang memungkinkan  dapat dibuatnya pesawat ruang angkasa yang kemudian dapat membuat manusia terbang ke ruang itu. Karena puisi itu juga mempertentangkan rumus ilmu dengan puisi, pembaca dibawa kepada sejarah panjang, yang berlangsung sejak zaman romantik, mengenai pertentangan antara seni dengan teknologi, khususnya industri. Ilmu, teknologi, industri, di dalam sejarah wacana yang panjang itu, dipahami sebagai kekuatan kultural yang materialistik, rasional, impersonal, yang memiskinkan spiritualitas manusia, dimensi perasaan manusia, dan relasi sosial tradisional yang personal, intim, yang oleh Raymond Williams (1973: 96-107) disebut “nilai-nilai organik” yang dianggap sebagai nilai-nilai yang inheren di lingkungan pedesaan dan lingkungan alamiah. Puisi, dalam sejarah wacana itu, dipahami sebagai kekuatan yang mampu menyelamatkan, melestarkan nilai-nilai spiritual, emosional, dan komunal tersebut dari gusuran ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri di atas.
Dengan demikian, perjalanan ke ruang angkasa itu bukanlah perjalanan fisik, melainkan perjalanan kultural atau mental, proses modernisasi dan industrialisasi. Karena di dalam tulisan-tulisan sejarah peradaban waktu itu kebudayaan modern dianggap sebagai puncak dari perkembangan peradaban manusia, tidaklah mengherankan apabila di baris (2) puisi ini menyebut dirinya sebagai sudah sampai ke tepi. Baris (3) juga menjadi masuk akal karena perjalanan mental yang mengimplikasikan perubahan mentalitas dan kebudayaan tidak dapat dihapus kembali, sudah tercetak di dalam pikiran dan perasaan manusia. Manusia, misalnya, sudah sulit untuk hidup dengan cara tradisional, melepaskan kehidupan material, membuang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industri sehingga mereka benar-benar tidak bisa kembali seperti yang dinyatakan di dalam baris (3). Dan, dalam posisi yang sudah di tepi, dalam posisi yang tidak bisa kembali ke nilai-nilai budaya sebelumnya itu, hanya puisi yang bisa menjadi semacam tempat “ziarah” karena hanya puisi yang masih menyimpan nilai-nilai itu sekarang seperti yang dinyatakan di dalam baris (26).

2.      Matriks, Model, dan Varian
Puisi “Manusia Pertama di Luar Angkasa” karya Subayo Sastrowardoyo ini banyak mengemukakan hal secara oposisional, seperti baris (26) dan (27). Selain itu, ada baris-baris lain yang merepresentasikan bumi yang dioposisikan dengan langit atau ruang angkasa, ada baris-baris yang merepresentasikan hubungan personal yang intim antara manusia yang dioposisikan dengan kesendirian yang merepresentasikan individualisme dan segala tata nilai masyarakat modern dan industrial yang disebutkan di atas, dan ada pula baris-baris yang merepresentasikan perasaan, imajinasi, cita-cita, kenangan yang dioposisikan dengan kenyataan yang bersifat material dan fisikal. Kesemua oposisi itu merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak muncul secara linier di dalam teks, yaitu oposisi antara kebudayaan modern yang invidiualistik, materialistik, rasional dengan kebudayaan tradisional yang komunal, spiritualistik, dan mengutamakan perasaan.

3.      Hipogram: intertekstualitas
Matriks oposisi antara kebudayaan modern yang invidiualistik, materialistik, rasional dengan kebudayaan tradisional yang komunal, spiritualistik, dan mengutamakan perasaan ini dapat sekaligus berupa hipogram. Hanya saja, hipogram untuk matriks yang demikian sudah sangat banyak, terdiri dari banyak teks dengan aneka ragam genre. Salah satu hipogram tekstual yang banyak dikutip adalah teks yang menyatakan bahwa modernisasi merupakan “pont of no return”.

Analisis Puisi dengan Menggunakan Teori Riffaterre

KAU, MENCATAT DENGAN PUISI
Sosiawan Leak

apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
tuhan? uang? kehormatan dan kebebasan?
atau harapan juga impian yang pelan kian hilang
dari kenyataan?
sedang kesederhanaan yang kau idamkan
loyo dan terbelah oleh kedigdayaan masa
atau flu burung yang menggejala
memanah statistik angka-angka
dan pernyataan pejabat negara
yang diuntal iklan di media?

apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
sedang undang-undang lebih berpesta
dengan kedangkalan kata-kata
akal budi menemukan penjara dunia
dan cuma pentas hidup di nirwana.
surga
; kata-kata tatkala kita ibadah dan berdoa
  demi hati, demi inti
  bukan demi kehidupan semena
  bukan demi tuhan, keyakinan atau cinta
  telah musna begitu kita menghitung harganya di kepala
  dan kau, memilih bisu
  saat berhadapan dengan segala
  ragu!




Analisis Puisi Kau, Mencatat Dengan Puisi dengan Teori Riffatere

A.    Analisis ketidaklangsungan ekspresi puisi dalam puisi Kau, Mencatat Dengan Puisi
Riffatere (1978:1) mengemukan bahwa puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Akan tetapi ada satu yang tetap yaitu puisi menyatakan suatu hal dengan arti yang lain. Jadi ada ketaklangsungan ekspresi dalam puisi atau sajak. Ketaklangsungan ekspresi itu menurut Riffatere (1978:2), disebabkan oleh tiga hal, yaitu :
1.      Penggantian arti (displacing of meaning) disebabkan oleh metafora dan metonomi. Metafora dan Metonimi adalah bahasa kiasan pada umunya, yaitu simile (perbandingan), Metafora, Personifikasi, Sinekdoki, dan Metonimi.

Dalam puisi ini penggantian arti terdapat pada bait pertama baris pertama “apakah yang bisa kau catat dengan puisi” pada bagian ini penyair menyiratkan arti apa yang dapat dilakukan seseorang di dunia ini. Selain itu juga terdapat pada kata “tuhan” yang diartikan sebagai kehidupan di akhirat dan kata “uang” diartikan sebagai kehidupan di dunia.
“sedang kesederhanaan yang kau idamkan loyo dan terbelah oleh ketidakdayaan masa” yang diartikan keimanan yang lemah karena adanya pengaruh zaman yang membuat imannya makin tak kuat.
“flu burung yang menggejala” diartikan sebagai sifat-sifat yang tidak baik mulai muncul pada diri seseorang.
“memanah statistik angka-angka”  diartikan sebagai seseorang yang mencari uang dengan cara yang tidak halal.
“pernyataan pejabat negara yang diuntal iklan di media” menyatakan sebuah aib-aib yang dengan mudah disebarluaskan.

Pada bait kedua
“ sedang undang-undang lebih berpesta dengan kedangkalan kata-kata” diartikan sebagai aturan yang mulai tidak tegas dan hanya menyesuaikan apa yang manusia inginkan, bukan manusia yang menyesuaikan dengan hukumnya.
akal budi menemukan penjara dunia dan cuma pentas hidup di nirwana” diartikan sebagai kebenaran yang mulai langka karena sifat-sifat yang buruk, kebenaran yang sesungguhnya akan tampak ketika di surga nanti.
; kata-kata tatkala kita ibadah dan berdoa demi hati, demi inti bukan demi kehidupan semena bukan demi tuhan, keyakinan atau cinta  telah musna begitu kita menghitung harganya di kepala” diartikan sebagai doa yang dilakukan bukan karena taqwanya kepada Tuhan atau rasa cintanya kepada Tuhan melainkan berdoa hanya menuntut keinginannya saja.
  dan kau, memilih bisu saat berhadapan dengan segala ragu!” diartikan sebagai seseorang yang menghadapi masalahnya dengan tindakan yang tidak sesuai dengan norma agama.

Jadi pada puisi ini diartikan bahwa sesuatu yang dilakukan oleh seseorang hanya mementingkan kehidupan di dunia saja, dan melupakan kehidupan di akhirat yang kekal itu.
2.      penyimpangan arti  disebabkan oleh
a.       ambiguitas disebabkan oleh penggunaan kata-kata, frase, kalimat, atau wacana yang ambigu, yaitu mempunyai makna yang lebih dari satu dapat ditafsirkan bermacam-macam menurut konteksnya.
Misalnya pada kata “Tuhan” bukan diartikan Tuhan sebenarnya melainkan sebuah kehidupa di Akhirat. Kata “uang” diartikan sebagai kehidupan dunia, bukan uang pada sesungguhnya. Kata “flu burung” diartikan sebagai sifat-sifat yang tidak baik mulai muncul pada diri seseorang. Kata “undang-undang” diartikan sebagai aturan-aturan yang mulai tidak tegas.
b.      Kontradiksi disebabkan oleh penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis
c.       Nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti yang tidak ada dalam kamus, tetapi mempunyai makna ghaib atau juga mempunyai makna lain sesuai dengna konteks. Nonsense berupa deretan bunyi tanpa arti dan banyak terdapat dalam mantra atau sajak bergaya mantra. Nonsense mempengaruhi dunia ghaib, nonsense juga dapat bermakna lucu atau kebalikan.
Pada puisi Kau, Mencatat Dengan Puisi tidak ada kata-kata nonsensenya.
3.      penciptaan arti
disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya
a.       enjambement adalah peloncatan baris dalam sajak membuat intensitas arti atau perhatian pada kata akhir atau kata “ yang diloncatkan” kebaris berikutnya.
Misalnya pada larik pertama bait pertama diloncatkan pada larik pertama bait kedua
apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
tuhan? uang? kehormatan dan kebebasan?
atau harapan juga impian yang pelan kian hilang
dari kenyataan?
sedang kesederhanaan yang kau idamkan
loyo dan terbelah oleh kedigdayaan masa
atau flu burung yang menggejala
memanah statistik angka-angka
dan pernyataan pejabat negara
yang diuntal iklan di media?

apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
sedang undang-undang lebih berpesta
dengan kedangkalan kata-kata
akal budi menemukan penjara dunia
dan cuma pentas hidup di nirwana.
surga
; kata-kata tatkala kita ibadah dan berdoa
  demi hati, demi inti
  bukan demi kehidupan semena
  bukan demi tuhan, keyakinan atau cinta
  telah musna begitu kita menghitung harganya di kepala
  dan kau, memilih bisu
  saat berhadapan dengan segala
  ragu!


b.      sajak menimbulkan intensitas arti dan makna liris, pencurahan perasaan pada sajak dan berpola sajak itu
c.       tipografi adalah tata huruf dalam sajak yang dapat menciptakan makna.
a). Tanda tanya (?) yang digunakan pada baris pertama bait pertama dan baris pertama pada bait kedua menegaskan kepada seseorang apa yang dapat dilakuakan oleh orang tersebut dengan kehidupannya di dunia ini.
d.      homologue adalah persejajaran bentuk atau persejajaran baris. Bentuk yang sejajar menimbulkan makna yang sama.
Pada bait pertama menggunakan kesejajaran dan keteraturan, sedangkan pada batit kedua yang mulai adanya perbedaan yang menunjukan makna bahwa kehidupan seseorang mulai adanya tindakan yang menyimpang dari aturan-aturan.

A.    Pembacaan Semiotik dalam Puisi Kau, Mencatat dengan Puisi
Untuk konkretisasi puisi dapat diusahakan dengan pembacaan heuristik dan retrokatif. Pada umumnya bahasa puisi menyimpang dari penggunaan bahasa biasa,. Oleh karena itu, dalam pembacaan ini semua yang tidak bisa harus biasa atau dinaturalisasikan sesuai dengan sistem bahasa normatif. Bilamana perlu, kata-kata dapat diberi awalan atau akhiran, disisipkan kata-kata supaya hubungan kalimat-kalimat puisi menjadi jelas (pradopo, 2007:295-296).
1.      Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik terhadap puisi “Kau, Mencatat dengan Puisi” karyaSosiawan Leak dapat dilakukan secara berikut:
apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
(apakah) tuhan? uang? kehormatan dan kebebasan?
atau harapan juga impian yang pelan (dan) kian hilang
dari kenyataan?
Sedang(kan) kesederhanaan yang (telah) kau (idam-) idamkan
(kini) loyo dan (semakin) terbelah oleh kedigdayaan masa
atau flu burung yang (juga) menggejala
memanah statistik angka-angka
dan pernyataan (dari) pejabat negara
yang (telah) diuntal iklan di media?

apakah yang bisa kau catat dengan puisi?
Sedang(kan) undang-undang lebih (asyik) berpesta
dengan kedangkalan kata-kata
akal budi (telah) menemukan penjara dunia
dan cuma (bisa) pentas hidup di nirwana.
surga
; kata-kata tatkala kita ibadah dan berdoa
  demi hati, demi inti
  bukan demi kehidupan (yang) semena(mena)
  bukan demi tuhan, keyakinan atau cinta
  (yang) telah musna begitu kita menghitung harganya di kepala
  dan kau, memilih (untuk) (mem-)bisu
  saat (kau) berhadapan dengan segala (sesuatu)
 (yang) ragu!
2.      Pembacaan Retrokatif
Pada Bait Pertama ini menerangkan apa yang bisa dilakukan oleh seseorang di dunia ini, sedangkan keimanan seseorang makin lama semakin melemah karena adanya perubahan zaman yang melunturkan nilai-nilai yang telah berkembang sejak dulu.

Bait kedua  menerangkan bahwa aturan-aturan yang mulai tidak tegas, dan sifat-sifat yang baik mulai menghilang. Doa yang dilakukan bukan karena taqwanya kepada Tuhan atau rasa cintanya kepada Tuhan melainkan berdoa hanya menuntut keinginannya saja.

B.     Matriks, Model, dan Varian-varian dalam puisi Kau, Mencatat Dengan Puisi
Matriks                        : sesuatu yang dilakukan seseorang dalam hidupnya di dunia
Model              : seorang yang menulis sebuah puisi
Varian Pertama : menggambarkan tentang kehidupan seseorang di dunia yang semakin tidak memiliki iman karena perkembangan zaman
Varian kedua   : menggambarka tentang sebuah aturan-aturan yang mulai tidak tegas, dan ketaqwaan seseorang hanyalah sebagai formalitas saja, yang dilakukan tidak didasari rasa taqwa kepada Tuhan
            Dari matriks, Model, dan Varian yang ada dapat disimpulkan bahwa kehidupan seseorang di dunia hanyalah sementara dan kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat.

C.     Hubungan Intertekstual Puisi Kau, Mencatat Dengan Puisi
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebuah sajak merupakan tanggapan terhadap teks atau sajak-sajak sebelumnya. Riffatere menyebutnya dengan nama hipogram yang merupakan teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau yang menjadi latar penciptaan sajak yang lain (Pradopo, 2007:300)

Sosiawan leak yang memiliki nama asli Sosiawan Budi Sulistyo adalah seorang aktor, penyair, penulis dan pembicara. Ia aktif berkesenian sejak 1987 dalam bidang teater dan sastra meski belakangan juga melakukan kerja kreatif di bidang musik dan kolaborasi antarcabang kesenian. Puisi yang ia hasilkan bisa dikatakan dinamis. Ia adalah seorang penyair dan deklamator yang sering melakukan perjalanan sastra di berbagai kota di Indonesia. Ia berpendapat bahwa puisi-puisi karyanya selalu berusaha menangkap apa yang terjadi di masyarakat.

Dalam puisi ini yang menjadi hipogram adalah kehidupan seseorang di zaman yang modern seperti sekarang ini, yang sudah banyka terpengaruh budaya dari luar yang melunturkan nilai-nilai religi, budaya, norma,sosial dan lain-lain.




Sejarah Fonologi Pengertian Fonologi dan Fonemik

PENGERTIAN FONOLOGI DAN FONEMIK
(Pertemuan 1)
A.    SEJARAH FONOLOGI
Sejarah fonologi dapat dilacak melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu ke waktu. Pada sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” ‘memoir tentang sistem awal vokal bahasa – bahasa Indo eropa ‘ yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa –bahasa anggotanya. Sejarah fonologi dalam buku ini akan lebih mengkhususkan membahas mengenai istilah fonem. Gambaran mengenai perkembangan fonologi dari waktu ke waktu dapat dilihat lewat berbagai aliran dalam fonologi.
a.     Aliran Kazan
Dengan tokohnya Mikolaj Kreszewski, aliran ini mendefinisikan fonem sebagai satuan fonetis tak terbagi yang tidak sama dengan antropofonik yang merupakan kekhasan tiap individu. Tokoh utama aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay (1895). Menurut linguis ini, bunyi – bunyi yang secara fonetis berlainan disebut alternan, yang berkerabat secara histiris dan etimologis. Jadi, meskipun dilafalkan berbeda, bunyi – bunyi itu berasal dari satu bentuk yang sama. Pada 1880, Courtenay melancarkan kritiknya terhadap presisi atas beberapa fona yang dianggapnya tidak bermanfaat. Pada 1925, paul passy mempertegas kritik tersebut.
Ferdinand De Saussure.
Dalam bukunya “Cours de Linguistique Generale” ‘ Kuliah Linguistik umum’, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai studi tentang bunyi – bunyi bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang dimaksud olehnya hanyalah unsure – unsure yang terdengar berbeda oleh telinga dan yang mampu menghasilkan satuan – satuan akustik yang tidak terbatas dalam rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa Saussure menggunaklan criteria yang semata – mata fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya pada poros sintagmatik.
Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu membedakan kata itu dengan yang lain.
Dengan konsep – konsepnya, meskipun tidak pernah mencantumkan istilah struktur maupun fungsi, Saussure dianggap telah membuka jalan terhadap studi fonologi yang kemudian diadaptasi oleh aliran Praha.
b.     Aliran Praha
Kelahiran fonologi ditandai dengan “Proposition 22” ‘Usulan 22’ yang diajukan oleh R. Jakobson, S. Karczewski dan N. Trubetzkoy pada konggres Internasional I para linguisdi La Haye, april 1928. Pada 1932 jakobson mendefinisikan fonem sebagai sejumlah ciri fonis yang mampu membedakan bunyi bahasa tertentu dari yang lain, sebagai cara untuk membedakan makna kata. Jadi konsep fonem merupakan sejumlah ciri pembeda (ciri distingtif).
c.     Aliran Amerika
Tokoh aliran ini adalah Edward Sapir (1925), seorang etnolog dan linguis yang terutama memeliti bahasa – bahasa Indian Amerika. Menurutnya, sistem fonologi bersifat bersifat fungsional. Kiprah Sapir diteruskan oleh penerusnya dari Yale, Leonard Bloomfield , yang karyanya “Language” menjadikan dirinya bapak linguistik Amerika selama 25 tahun. Pada buku itu Bloomfield menjelaskan banyak hal tentang definisi – definisi mutakhir tentang fonem, istilah ciri pembeda, zona penyebaran fonem, kriteria dasar dalam menentukan oposisi fonologis dan lain – lain.
Sifat behaviouris dan antimentalis Bloomfield mengantarkannya pada konsepsi tentang komunikasi sebagai perilaku dimana sebuah stimulus (ujaran penutur) memunculkan reaksi mitra tutur. Menurutnya, yang penting dalam bahasa adalah fungsinya untuk menghubungkan stimulus penutur dengan reaksi mitra tutur. Agar fungsi itu terpenuhi, pada tataran bunyi cukuplah kiranya jika setiap fonem berbeda dengan yang lainnya. Sehingga zona penyebaran fonem dan sifat akustiknya bukanlah sesuatu yang penting. Pada tataran fonologi umum, pionir fonologi Amerika lainnya, W.F Twaddell pada 1935 menerbitkan monografi. Di dalamnya Twaddell menegaskan bahwa satuan – satuan fonologis bersifat relasional.  Daniel Jones dan Aliran Fonetik Inggris Sejak 1907 Daniel Jones mengajar fonetik di University of London. Setelah itu ia kemudian lebih banyak menggelti praktek fonologi di Inggris. Kegiatannya di jurusan fonetik di University of college lebih difokuskan pada transkripsi fonetis dan pengajaran pelafalan bahasa – bahasa dunia. Perhatiannya pada dua hal itu membuat dirinya memiliki konsep tersendiri tentang fonem. Pada 1919, dalam “ Colloquial Sinhalese Reader” yang diterbitkannya bersama H.S Parera, Jones memberikan definisi fonem yang berciri distribusional.
Terinspirasi oleh Baudoin de Courtenay, yang memakai fonem sebagai realitas psikofonetis, Jones menggambarkan fonem sebagai realitas mental. Maksudnya, dalam studi tentang sifat alamiah fonem, kita juga dapat menggunakan baik intuisi, rasa bahasa maupun cara – cara lain yang bersifat psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa Jones lebih suka pada sifat fonem, alih – alih fungsinya. Dengan sudut pandang seperti itu sebenarnya Jones sudah memasuki daerah kerja fonologi, dalam analisisnya ia memasukkan data fonologi tertentu, namun dengan menyingkirkan sudutpandangfonologis.
B.    Perkembangan Fonologi
Tahun 1960-an sampai 1970-an menandai dimulainya kajian – kajian empiris tentang bahasa Indonesia maupun bahasa – bahasa lain. Contoh karya – karya yang muncul antara lain :
a. Artikel tentang fonologi bahasa jawa dan sistem fonem dan ejaan (1960) oleh samsuri. Ciri – ciri penelitian pada saat itu adalah dipengaruhi oleh gerakan deskriptivisme, menganut aliran neo Bloomfieldian dan bersifat behaviouristik, ketat dalam metodologi dan bahasa lisan menjadi objek utama.
b. Lalu pada tahun 1970an masuk konsep fonem dan wawasan tentang unsur suprasegmental oleh amran halim, dan Hans Lapoliwa dengan fonologi generatifnya.
Namun, untuk mengetahui perkembangan mutakhir linguistic Indonesia saat ini diperlukan survey lagi yang lebih mendalam.

C.    Pengertian Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi.  Akan tetapi, bunyi yang dipelajari dalam Fonologi bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa yang dapat membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulis yang digunakan oleh manusia. Bunyi yang dipelajari dalam Fonologi kita sebut dengan istilah fonem.
Fonem tidak memiliki makna, tapi peranannya dalam bahasa sangat penting karena fonem dapat membedakan makna. Misalnya saja fonem [l] dengan [r]. Jika kedua fonem tersebut berdiri sendiri, pastilah kita tidak akan menangkap makna. Akan tetapi lain halnya jika kedua fonem tersebut kita gabungkan dengan fonem lainnya seperti [m], [a], dan [h], maka fonem [l] dan [r] bisa membentuk makna /marah/ dan /malah/. Bagi orang Jepang kata marah dan malah mungkin mereka anggap sama karena dalam bahasa mereka tidak ada fonem [l]. Oleh karena itulah sangat penting bagi kita untuk mempelajari Fonologi.
Sekarang coba Anda perhatikan bunyi gebrakan tangan di atas meja. Apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam kategori fonem? jika Anda menjawab Iya, Anda harus membaca kembali kalimat sebelumnya. Tapi, jika jawaban Anda Bukan..Selamat! Anda telah berhasil memahami tentang fonem. Bunyi gebrakan tangan di atas meja mungkin bisa memiliki makna atau pun membedakan makna, tapi apakah bunyi tersebut termasuk ke dalam bunyi bahasa..silahkan Anda perhatikan dengan baik.
Fonem dalam bahasa Indonesia terdiri atas empat macam. Ada fonem yang benar-benar asli dari bahasa Indonesia, namun ada pula fonem yang berasal dari berbagai bahasa lain namun penggunaannya sudah dibakukan. Dalam pembahasan berikut, saya tidak akan membedakan antara fonem yang asli dengan fonem yang serapan.
Menurut Hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik biasanya dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
            Marilh kita lihat percakapan ini :
            Orang I : apakah tugasmu hari ini?
            Orang II : membuat resensi buku­­
            Orang I : resensi buku? buku siapa?
            Orang II : ah, buku dalam bahasa arab
            Orang I: dalam bahasa arab?
            Orang II: ya,kita kan mahasiswa bahasa arab.
Dari percakapan sependek ini kita hanya mendengar deretan bunyi baik yang dikeluarkan oleh orang I maupun orang II. Bunyi-bunyi ini disebut, bunyi bahasa yang  kebetulan kita mengerti, karena kita adalah penutur bahasa Indonesia. Seandainya ada orang jerman yang kebetulan mendengar percakapan ini, pasti dia tidak mengerti bahasa Indonesia. Ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tertentu menurut fungsinya, untuk membedakan makna leksikal disebut fonologi  ( phonology). Di Amerika istilah fonologi disebut fonemik (phonemics) sedangkan di eropa disamping fonemik terdapat pula fonetik. Jadi, bagi sarjana di eropa, misalnya Belanda dan Inggris terdapat fonetik dan fonologi, sedangkan di Amerika Serikat, baik fonetik maupun fonemik dibicarakan dalam satu tataran yang disebut fonologi.

D.    BIDANG PEMBAHASAN FONOLOGI
Fonologi mempunyai dua cabang kajian,
Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
a)     fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b)     fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.
c)      fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu  kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi[r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.
istilah lain yang berkaitan dengan Fonologi antara lain fona, fonem, konsonan, dan vokal.

fona adalah bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf. Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :
1.        udara,
2.        artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan
3.        titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa rintangan.  Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan, dalam hal ini yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator .
E.    KEDUDUKAN FONOLOGI DALAM CABANG-CABANG LINGUISTIK
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.
1.  Fonologi dalam cabang Morfologi
Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks   {-kan}.
2.  Fonologi dalam cabang Sintaksis
Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam cabang Semantik
Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.




F.    Hal- hal terkait fonologi
a.      Fonem
Fonem adalah kesatuan bunyi yang terkecil dan sistem bunyi-bunyi bahasa yang dapat berfungsi sebagai pembeda makna. Dan fonem juga adalah  merupakan objek kajian dalam ilmu fonemik.
b.      Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi, lalu membandingkannya dengan satuan kata yang lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. kalau ternyata kedua satuan bahasa itu mempunyai makna yang berbeda maka dapat kita simpulkan bahwasanya bunyi tersebut adalah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa tersebut. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata “tajam” dengan ”talam”. Keduanya memiliki kemiripan bunyi bahkan jumlah bunyinya sama (lima bunyi). “Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi “J” dan “l”. Maka dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa bunyi “j” dan  “l” dalam bahasa Indonesia adalah fonem, karena berfungsi dalam membedakan makna. Dalam bahasa arab juga ditemukan adanya fonem, misalnya pada kata “ ذنوب“ dengan “ زنوب“ yang mempunyai arti yang berbeda yaitu “dosa-dosa” dan “bulu ketiak”.
c.       Klasifikasi Fonem
Dalam kajian fonologi, fonem dapat diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu : fonem segmental dan fonem suprasegmental. Adapun yang dimaksud dengan fonem segmental adalah vokal dan konsonan dalam fonologi ataupun fonem-fonem yang berupa bunyi yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran. Dan yang dimaksud dengan suprasegmental adalah jalinan atau susunan bunyi yang dapat membedakan arti suatu kata dengan kata yang lain. Sedangkan yang dimaksud  dengan segmen adalah satuan bahasa yang diabstraksikan dari suatu teks, misalnya fon atau fonem sebagai suatu bunyi, morf atau morfem sebagai satuan gramatikal.
d.     Identifikasi Fonem Bahasa Arab Berdasarkan Klasifikasi Fonemnya.

1.      Fonem vokal
Dalam pembuktian bunyi-bunyi vokal dalam bahasa arab termasuk fonem atau tidak, dapat dilihat sebagai berikut :
a.   Vokal  /i/ dan /î/ misal :
                    سن     /sinnun/           “umum atau gigi”
              سېن /sÎn/                 “huruf s”
Vokal /i/ dan /Î/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hampir sama namun dapat membedakan makna.
b.   Vokal /a/ dan /â/ misal :
                    نصر  /nasara/          “dia telah menolong”
                    ناصر          /nâsara/          “saling menolong”
Vokal /a/ dan /â/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hampir sama namun dapat membedakan makna.

c.       Vokal /u/ dan /û/ misalnya :                    
      نذر  /nuzurun/        “peringatan”
      نذور          /nuzûrun/        “nazar”
Vokal /u/ dan /û/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hamper sama, namun dapat membedakan makna.

d.      Vokal /i/ dan /a/ misalnya :
                  من     /min/   “dari”
                  من     /man/  “siapa”
Vokal /i/ dan /a/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hampir sama, namun dapat membedakan makna.

e.      Vokal /i/ dan /u/ misalnya :
                  بر     /birrun/           “kebaikan”
                  بر     /burrun/          “gandum”
Vokal /i/ dan /u/  dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hampir sama, namun dapat membedakan makna.

f.   vokal /a/ dan /u/ misalnya :
                                   بر    / barrun /          “daratan”
                                   بر    / burrun /          “gandum”
                        Vokal /a/ dan /u/  dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang hampir sama, namun dapat membedakan makna.

2. Fonem konsonan
Diantara beberapa fonem yang teridentifikasi memiliki kesamaan dalam bahasa arab adalah sebagai berikut :

a.      konsonan “” /t/ dan “” /t/, misalnya :
            ﺗﻳﻥ      / tin /   ”buah tin”
            ﻄﻳﻥ    / tin /   ”tanah”
konsonan “” /t/ dan “” /t/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

b.      konsonan “” /t/ dan ”” /d/, misalnya ;
            ﺘﺏ      / tabba /          ”celaka, binasa”
            ﺪﺏ      / dabba /         ”merangkak, merayap”
konsonan “” /t/ dan ”” /d/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

c.  konsonan ”” /k/  dan ”” /q/, misalnya :
            ﻜﻟﺏ    / kalbun /        ’anjing”
            ﻗﻟﺏ     / qalbun /        ”hati”
konsonan ”” /k/ dan ”” /q/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

         d. konsonan  ”” /d/ dan ”” /d/, misalnya :
            ﺪﻝ       / dalla /           ”menunjukkan”
            ﺿﻝ    / dalla /           ”menyesatkan”
konsonan ”” /d/ dan ”” /d/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

                        e. konsonan ”” /t/ dan ”” /z/, misalnya :
            ﺛﻡ         / samma /       ”disana”
            ﺫﻡ        / zamma /       ”mencela’
Konsonan  ”” /t/ dan ”” /z/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

f.        konsonan ”” /z/ dan ”” /z/, misalnya :
            ﺫﻟﻴﻝ    / zalillun /        ”yang hina”
            ﻅﻟﻴﻝ   / zalilun /         ”yang melindungi”
Konsonan ”” /z/ dan ”” /z/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.

g.      konsonan ”” /s/ dan ”” /s/, misalnya :
            ﻧﺴﺭ    / nasrun /        “burung garuda”
            ﻧﺼﺭ   / nasrun /        “pertolongan”
Konsonan ”” /s/ dan ”” /s/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda, dan dapat membedakan makna.
h.      konsonan ”” /s/ dan “” /sy/, misalnya :
            ﺣﺭﺱ / harasa /        “menjaga”
            ﺣﺭﺵ / harasya /      “memburu”
Konsonan ”” /s/ dan “” /sy/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

i.        konsonan “” /h/ dan “” /h/, misalnya :
            ﻧﺣﺭ    / nahara /        “menyembelih”
            ﻧﻫﺭ     / nahara /        “membentak”
Konsonan “” /h/ dan “” /h/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

j.        konsonan “” /h/ dan “” /’a/, misalnya :
            ﻧﺣﻝ    / nahlun /        “lebah”
            ﻧﻌﻝ     / na’lun /         “sendal”
Konsonan “” /h/ dan “” /’a/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

k.       konsonan “” /’a/ dan “” /h/, misalnya :
            ﺴﺄﻝ    / sa’ala /          “bertanya”
            ﺴﻬﻝ    / sahala /         “mudah”
Konsonan  “” /’a/ dan “” /h/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.
l.        Konsonan “” /’a/ dan “” /’a/, misalnya :
            ﺑﺩﺃ       / badaa /         “memulai”
            ﺑﺩﻉ     / bada’a /        “menciptakan”
Konsonan “” /’a/ dan “” /’a/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

m.    konsonan “” /k/ dan “” /kh/, misalnya :
            ﺃﻛﺑﺭ    / akbarun /      “lebih besar”
            ﺃﺧﺑﺭ   / akhbarun /    “mengabarkan”
Konsonan “” /k/ dan “” /kh/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

n.      konsonan “” /kh/ dan “” /g/, misalnya :
            ﺑﺧﻳﺭ   / bikhairin /     “dengan baik”
            ﺑﻐﻴﺭ    / bigairin /       “dengan yang lain”
Konsonan” ” /kh/ dan “” /g/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.

o.      konsonan “” /t/ dan “” /s/, misalnya :
            ﻟﺛﻡ       / latsama /      “mencium”
            ﻟﺳﻡ      / lasama /       “mengecap”
Konsonan ” ” /kh/ dan “” /g/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.
p.      konsonan “” /z/  dan ”” /j/, misalnya :
                                    ﻣﺯﻟﺔ   / mazallatun /             “tempat yang licin”
                                    ﻣﺟﻟﺔ   / majallatun /              “majalah”
                        Konsonan  “” /z/  dan ”” /j/ dalam bahasa arab adalah dua buah fonem yang berbeda dan dapat membedakan makna.
G.   MANFAAT FONOLOGI DALAM PENYUSUNAN BAHASA
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.
A.    FONOLOGI
1.      Definisi Fonologi
-          Menurut Verhaar (1984:36) mengatakan bahwa fonologi  merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam suatu bahasa.
-          Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
-          Keraf (1984: 30) Fonologi ialah bagian dari tata bahasa yang memperlajari bunyi-bunyi bahasa.
-          Chaer (1994: 102) Fonologi ialah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa, yang secara etimologi terbentuk dari katafon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu.
2.      Fonem
-          Fonem adalah kesatuan bunyi yang terkecil dan sistem bunyi-bunyi bahasa yang dapat berfungsi sebagai pembeda makna. Dan fonem juga adalah  merupakan objek kajian dalam ilmu fonemik.
-          Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan arti. Misalnya /d/ adalah fonem karena dapat dapat membedakan arti kata dari, lari, sari, pari, kari, tari, qari, mari.
-          Definisi Fonem menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi pertama, cetakan kedua tahun 1988) Fonem adalah sebagai bunyi bahasa yang berbeda atau mirip.
3.      Grafem
-          Grafem adalah lambang huruf, grafem merujuk ke huruf atau gabungan huruf sebagai satuan pelambang fonem di dalam satu ejaan.



B.     MORFOLOGI
1.      Definisi Morfologi
-          Menurut Odien R. ( 2004 : 145) morfologi adalah cabang atau tataran ilmu bahasa yang bersama-sama dengan sintaksis termasuk kedalam gramatika atau tata bahasa.
-          Menurut Crystal (1997) mendefinisikan morfologi sebagai “ the branch of grammar studies the structure of words.’’ (morfologi merupakan cabang gramatika / tata bahasa yang mengkaji struktur kata).
-          Menurut Kridalaksana (1993) yang mendefinisikan morfologi sebagai (i ) bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi – kombinasinya, dan (ii) bagian dari truktur bahasa yang mencakup kata dan bagian – bagian kata yakni morfem.
-          Menurut Leehmann (1976) menyatakan bahwa “morphologi is the study of morphemes their variation, and their combination in word.” (morfologi adalah studi tentang morfem, dan kombinasi – kombinasi didalam kata).
-          Menurut Wardhaugh (1977) mendefinisikan morfologi sebagai “the study of morphemes and their combination in word.” (morfologi merupakan studi morfem dan kombinsi – kombinasi morfem dalam kata).
2.      Morf
-          Menurut Odien R. (2004 : 147) morf adalah anggota darisuatu morfem yang belum ditentukan distribusinya atau wujud konkret / wujud fonemis dari suatu morfem.
-          Morf adalah bentuk terkecil yang mempunyai makna, yang tidak atau belum dibicarakan dalam hubungan keanggotaan terhadap suatu morfem.

C.    SINTAKSIS
1.      Definisi Sintaksis
-          Sintaksis menurut Fromkin & Rodman, adalah ilmu yang mempelajari aturan, atau "hubungan berpola" yang mengatur bagaimana kata-kata dalam kalimat bergabung.
-          Sintaksis menurut Zaenal Arifin & Junaiyah, adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan (speech).
-          Sintaksis menurut Abdullah Hasan, adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bentuk, struktur, dan binaan ayat.

2.      Frasa
-          Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif.
-           Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih dan tidak melebihi batas fungsi (Ramlan, 1981).
-          Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi klausa (Ibrahim,1996).
3.      Klausa
-          Dalam Bahasa Indonesia, Klausa merupakan tataran didalam sintaksis yang berada di atas tataran frase dan di bawah tataran kalimat.
-          (Badudu) Klausa adalah sebuah kalimat yang merupakan bagian daripada kalimat yang lebih besar.
-          Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat.
-          (Prof. Drs. M. Ramlan), klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari P (predika), baik disertai oleh S (subjek), O (objek), Pel(aku), dan ket(erangan) ataupun tidak.
-          (Jos Daniel Parere) Klausa adalah sebuah kalimat yang memenuhi salah satu pola dasar kalimat inti dengan dua atau lebih unsur pusat.
-          (Kridalaksana) Klausa adalah satuan gramatik berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

1.      Pengertian Fonologi
Pengertian fonologi menurut para ahli bermacam-macam. Dari bermacam-macam pengertian fonologi dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu secara harfiah, aliran eropa, dan aliran amerika.
a.      Secara Harfiah
Fonologi berasal dari kata fon berarti bunyi dan logos berarti ilmu.
Jadi fonologi adalah ilmu tentang bunyi (bahasa).
b.      Menurut Aliran Praha atau Eropa
Fonologi sama dengan fonemik, menurut aliran praha, fonologi adalah ilmu yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagi pembeda arti.
c.       Menurut Aliran Amerika
Fonologi mencakup dua bidang, yaitu fonetik dan fonemik. Menurut aliran Amerika, fonologi adalah ilmu yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti dan menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti
2.      Fonetik
 Fonetik berasal dari bahasa Inggris  phonetics (kata benda)  kata sifatnya phonetic. Kata sifat Indonesianya adalah fonetis dan kata benda adalah fonetik. Menurut para ahli fonetik adalah berikut ini.
a.      Menurut  Samsuri, fonetik adalah studi tentang bunyi ujaran dan pengucapannya (mengkaji bunyi-bunyi secara hakiki).
b.      Menurut Lapoliwa, fonetik adalah kajian proses terjadinya bunyi-bunyi bahasa melalui pembentukan bunyi oleh pembicara sampai dengan pendengar menyadari bunyi-bunyi yang diterima (bunyi dan pembentukannya/pengucapannya, bunyi dan saluran/udara, bunyi dan telinga/penerima).
c.       Menurut Marsono, Verhaar, dan Ramlan, fonetik adalah menyelidiki bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti (kajian asal mula).
Berdasarkan pengertian menurut Lapoliwa, fonetik ada tiga jenis, yaitu fonetik akustis, auditoris, dan organis.
a.      Fonetik akustis adalah menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara. Apabila kita memetik gitar misalnya, maka tali gitar (senar) akan bergetar, sehingga menyebabkan udara bergetar pula, dan terjadilah bunyi yang dapat kita dengar. Demikian pula halnya dengan bunyi bahasa, yang dihasilkan dengan alat-alat bicara. Untuk fonetik akustis dalam penyelidikan spesialistis perlu peralatan elektronis yang rumit. Jadi penyelidikan tersebut hanya dapat dikerjakan di dalam laboratorium fonetis.
b.      Fonetik auditoris, adalah penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga. Fonetik auditoris tidak banyak dikerjakan dalam hubungan dengan linguistik, buku-buku standart mengenai linguistik juga sedikit sekali menguraikan mengenai fonetik auditoris itu. Dan keahlian yang dituntut sebenarnya adalah keahlian dalam ilmu kedokteran.
c.       Fonetik organis/artikulasi/fisiologis, fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat (atau organ bicara/organs of speach). Bidang itu penting sekali untuk linguistik dan akan kita bicarakan secara terperinci dalam bab ini.
Dari ketiga jenis fonetik  tersebut, yang dikaji oleh ahli bahasa adalah fonetik organis. Yang  dipelajari dalam fonetik organis adalah berikut ini.
a.      Alat-alat bicara penghasil bunyi bahasa.
b.      Cara menghasilkan bunyi bahasa oleh alat bicara.
c.       Pendaftaran bunyi-bunyi bahasa.

d.      Pengklasifikasian bunyi-bunyi bahasa.